JAKARTA – Peningkatan kualitas karya jurnalistik yang dihasilkan media siber adalah kunci paling efektif untuk menangkal ujaran kebencian dan kabar bohong atau hoax yang merupakan ekses negatif dari perkembangan platform digital. Karya jurnalistik yang bermutu semakin dibutuhkan di tahun-tahun politik menjelang Pemilu 2024.
Demikian antara lain ditegaskan Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa ketika berbicara dalam diskusi bertajuk “Media Sosial untuk Optimalisasi Tingkat Partisipasi Pemilih Millenial”, di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat sore (25/11).
Selain Teguh Santosa, dua pembicara lain dalam diskusi itu adalah akademisi Universitas Multi Media Nusantara Nona Evita dan Communication Spesialist Institut STIAMI Geofakta Razali.
Komisioner KPU RI, August Mellaz, yang mengepalai Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat, juga hadir dan memberikan pandangan dalam diskusi tersebut.
Dalam penjelasannya Teguh mengatakan, JMSI yang merupakan konstituen Dewan Pers sejak awal merasa ikut terpanggil dan ikut bertanggung jawab untuk menciptakan Pemilu 2024 yang berkualitas.
Partisipasi JMSI dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 telah dituangkan dalam sebuah Memorandum of Undestanding (MoU) dengan KPU RI yang ditandangani pada tanggal 1 Agustus lalu di arena Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) JMSI di Jakarta.
“Kami sepakat bahwa sukses Pemilu 2024 menjadi tanggung jawab kita bersama. Media siber anggota JMSI bertekad untuk mengedepankan informasi programatik yang konstruktif dan produktif,” ujarnya.
Karya jurnalistik yang berkualitas baik, yang dikerjakan dengan memperhatikan berbagai kaidah pers yang profesional, masih menurut Teguh, juga dibutuhkan untuk membangun kepeduliaan terhadap politik dan Pemilu 2024 di kalangan generasi milenial dan generasi Z.
Teguh yang juga dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Bung Karno mengatakan, generasi milenial dan generasi Z mengandalkan media sosial untuk mendapatkan berbagai informasi, termasuk informasi politik.
Sementara, di ranah media sosial masih sering ditemukan ujaran kebencian dan kabar bohong yang dikembangkan dan disebarkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Ketika ditanya mengenai peranan buzzeRp di masa-masa mendatang, Teguh mengatakan dirinya optimistis buzzeRp akan menjadi kelompok yang teralienasi dengan sendirinya manakala karya jurnalistik yang berkualitas baik semakin banyak dan di saat bersamaan generasi milenial dan generasi Z menurut pengamatannya juga dapat mengenali informasi buruk yang disebarkan buzzeRp.
BuzzeRp adalah istilah yang belakangan populer yang digunakan untuk merujuk kelompok pengguna media sosial yang kerap mengedepankan ujaran kebencian dan juga kabar bohong.
Hal lain yang dibutuhkan untuk menghadapi buzzeRp, sebut Teguh, adalah penegakan hukum yang tidak pandang bulu.
Mengejar Target Partisipasi
Adapun anggota KPU RI August Mellaz ketika dimintai pandangannya mengatakan bahwa KPU periode sekarang berusaha mengejar target partisipasi sebesar 81 persen yang lebih tinggi dari penyelenggaraan Pemilu sebelumnya.
Dalam kaitannya dengan hal itu, KPU menyadari bahwa salah satu tantangan yang dihadapi adalah bagaimana meningkatkan partisipasi kelompok milenial dan generasi Z.
August Mellaz menyampaikan, kelompok milenial dan generasi Z memiliki kecenderungan yang khas dalam memperoleh informasi.
“Misalnya, kalau informasi berasal dari KPU dan medsos KPU, itu akan segera (diakses). Tetapi tidak juga diberikan legitimasinya kalau belum muncul di media mainstream,” kata August Mellaz mencontohkan.
Maka dari itu, August Mellaz menilai informasi yang disebarkan media massa di platform sangat penting untuk mendorong partisipasi kelompok milenial dan generasi Z.
Paham Memverifikasi Informasi
Akademisi dan praktisi komunikasi Universitas Multi Media Nusantara, Nona Evita, dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa Generasi Z yang merupakan digital native dan media social native walau sering dianggap tidak peduli namun sesungguhnya memiliki kemampuan untuk memverifikasi informasi yang mereka terima di platform digital.
“Juga tidak langsung percaya gitu saja. Mereka langsung ke media mainstream dulu (dulu untuk memverifikasi). Itu pola verifikasi yang baik sebetulnya, sekaligus jadi solusi juga,” ujarnya.
Sementara Communication Spesialist Institut STIAMI Geofakta Razali mengatakian bahwa Generasi Z memiliki perhatian atau attention yang cukup dalam menilai informasi politik walaupun belum tentu pada akhirnya mereka akan berpatisipasi.
“Pada tahap attention itu sebenarnya ada persepsi bagaimana persepsi mereka tentang politik, yang mereka ambil dari experience mereka termasuk dari generasi sebelum mereka,” jelasnya.
“(Setelah) punya persepsi, baru akan tercermin dalam perilaku,” demikian Geofakta Razali sambil menambahkan bahwa generasi milineal dan Generasi Z cukup menentukan Pemilu 2024. (jmsi)