SETIAP tanggal 17 Agustus, masyarakat Indonesia memperingati dan merayakan hari kemerdekaan. Peringatan dan perayaan ditandai dengan pengibaran bendera merah putih dan pelaksanaan kegiatan yang beraroma pembangkitan semangat kebangsaan dan patriotisme.
Secara harfiah, kata merdeka berasal dari bahasa sansekerta yakni mahardhika, yang artinya kebebasan. Untuk lebih jauhnya, merdeka berarti kaya, sejahtera dan kuat, bebas atau tidak bergantung (independen).
Tujuan kita merdeka sudah jelas termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan kemerdekaan berarti bangsa Indonesia mendapatkan suatu kebebasan. Hal ini menegaskan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berdaulat, menuju pintu gerbang masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Apa makna kemerdekaan yang sesungguhnya? Apakah hanya sebatas bebas melakukan apa saja? Indonesia adalah negara tangguh yang merdeka dari renggutan penjajah, sehingga makna kemerdekaan harus selalu melekat di hati setiap masyarakat.
Namun kenyataannya, tidak semua rakyat Indonesia, dapat memaknai arti dari kemerdekaan yang sesungguhnya. Khususnya generasi muda, mereka bersikap masa bodoh akan bagaimana cara mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang sudah diraih dengan susah payah itu.
Bukannya memperingati sebagai wujud rasa nasionalisme, dan melakukan hal-hal positif sebagai bentuk tabggungjawab sebagai generasi penerus bangsa, peringatan hari kemerdekan diiisi dengan hiruk pikuk pagelaran organ tunggal.
Katanya syukuran, namun syukuran yang dibungkus kekufuran. Terjebak oleh hawa nafsu sendiri, dentuman musik dangdut setengah tiang, membahana hingga tengah malam. Inikah sikap mensyukuri nikmat kemerdekaan ? Jangan heran jika musibah datang silih berganti.
Generasi muda telah lupa akan teriakan Bung Karno, teriakan Bung Tomo, teriakan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang bergerilya di tengah hutan belantara, walau dalam keadaan sakit. Jauh dari implementasi, generasi muda kini memaknai arti dari kemerdekaan hanyalah dengan melakukan hura-hura.
Jangan sampai catatan sejarah terlupakan oleh anak cucu. 77 tahun silam, 9 Ramadhan malam, para ulama, para kiyai, dalam doa dan tahajjud, mereka bermunajat kepada Allah, memohon kekuatan.
Kita merdeka atas rahmat dan kuasa Allah SWT. Allah berjanji, seandainya penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa, Allah akan bukakan bagi mereka keberkahan. Keberkahan kemenangan, keberkahan dari mengusir penjajah, keberkahan dari tanam tanaman. Jangan sampai Allah mencabut nikmat itu dari kita,
hanya gara-gara terjebak oleh kebodohan dan ketololan diri sendiri.
Kita memang tidak kuasa mengubah negeri ini dengan seorang diri. Tapi paling tidak, kita mengisi hari kemerdekaan dengan kalimat syukur sembari melakukan kegiatan-kegiatan positif, yang bisa memberi nilai plus dalam perjalanan kehidupan bangsa.
Ayo kembali ke fitrah, makhluk ciptaan yang tau bersyukur. Yang mengisi dan memaknai arti kemerdekaan sebagai bentuk melepaskan segala sesuatu yang berkenaan dengan kesyirikan dan kekufuran. Kemerdekaan seorang adalah ketika terbebasnya hamba dari segala dinamika kehidupan, yang tidak berlandaskan atas aturan yang sudah ditentukan oleh agama. (***)