TASLABNEWS, ASAHAN – Sejak terbitnya larangan sementara ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya, Petani Sawit di Kabupaten Asahan terhimpit hutang.
Pelarangan tersebut dimuat dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22/2022, tentang Larangan Sementara Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil ditetapkan pada 27 April 2022.
“Andai Pemerintah sudah terlebih dulu siapkan kemampuannya menampung seluruh buah dari petani, atau PKS BUMN berperan menampung buah petani, kita mungkin tidak separah seperti saat ini,” ucap Petani sawit di Kabupaten Asahan, Mawardi, Jumat (6/5/2022).
Menurutnya, sejak peraturan tersebut diumumkan Presiden, dilanjutkan pemberlakuan resmi pelarangan ekspor CPO dan Minyak Goreng di tanggal 28 April 2022, hingga hari ini (4/5) gejolak imbas sudah melanda pihak hulu, namun tujuan yang dinanti masih sayup-sayup terlihat
“Larangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng sudah berjalan. Belum juga ada tanda-tanda terang di bawah,” ungkap Petani sawit yang berdomisili di Kecamatan Meranti, Asahan, tersebut.
Lebaran sudah terlewati, namun harga minyak goreng belum menunjukan tanda-tanda mendekati harga eceran tertinggi (HET) sebagaimana ditentukan Permendag No. 22 Tahun 2022.
“Pengecer pasti akan menahan pembelanjaannya sampai stok habis. Itu cara pedagang menghindari kerugian atas stok yang sudah terlanjur dibeli,” jelas mawardi
Dengan penundan pembelian oleh pihak pengecer, tentu berdampak pada ketersediaan stok di level distributor 1 dan distributor 2 sehingga terjadi efek bola salju, produsen pun akan kelebihan stok dan memperlambat produksi untuk memperlambat masa berlaku produk.
“Perlambatan dan penyumbatan akan berdampak pada kelimpahan stok di posisi paling hulu dan Pabrik Pengolahan TBS (Tandan Buah Segar). Apakah Petani Sawit sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika terjadi penyumbatan di hilir? TBS Petani tak tertampung,” terangnya.
Hal ini sudah terlihat jelas dengan porak-porandanya harga TBS di berbagai provinsi sentra sawit, yang rata-rata mengalami penurunan sebesar Rp1.100 – Rp1.700 /kg.
Harga ini tentu membawa petani sawit kembali mundur ke tahun 2018 di mana harga sawit bisa di bawah Rp2.000/kg . Situasi ini tentu menjepit petani sawit, belum lagi harga pupuk yang mahal,membuat para petani sawit terlilit hutang.
“Saya percaya pekerjaan ini mulia di mata Tuhan. Jangan marah sama pedagang gorengan. Kita marah karena digoreng keadaan,” sebut Mawardi. (edi/mom)