TASLABNEWS, PEMATANGSIANTAR – Puluhan mahasiswa Politeknik Gihon (Poligon) Pematangsiantar yang tergabung dalam Aliasi Mahasiswa GIHON Menggugat (AMGM) menggelar aksi damai di lingkungan kampus, Jalan Bahagia No 01 Kampung Kristen, Pematangsiantar. Aksi yang dimulai sejak pukul 09.00 WIB hingga pukul 14.30 Wib itu dipicu karena kekecewaan mahasiswa terhadap kinerja kampus yang dinilai tidak professional.
Pimpinan aksi damai, Andry Napitupulu menyampaikan bahwa aksi tersebut terjadi karena pihak kampus tidak memberikan tanggapan yang baik atas keluhan mahasiswa/i Gihon.
“Kami terpaksa turun dan melakukan aksi damai di lingkungan kampus karena belum ada respon maupun tanggapan yang baik dari kampus terhadap keluh kesah kami mahasiswanya,” ungkap Andry, Senin (21/09/2020).
“Sebelum kami melakukan aksi, kami sudah pernah melakukan pertemuan dengan petinggi kampus, dalam hal ini Yayasan. Tapi belum ada jalan keluar yang baik atas permasalahan kami (mahasiswa) setelah pertemuan itu,” kata Andry.
“Malah pihak kampus memanggil beberapa orang tua kami yang dinilai sebagai provokator, bukan fokus pada solusi terbaik dan bijaksana dalam menyelesaikan konflik antara pihak kampus dengan mahasiswa,” tambahnya lagi.
Andry juga menyesalkan sikap arogansi dari pihak kampus (Direktur) yang membentak salah satu mahasiswinya pada saat berdialog di ruang dosen.
“Selaku lembaga pendidikan, seharusnya kampus memberikan contoh yang baik dan memiliki etika, bagi kami (mahasiswa Gihon) tidak etis bila seorang akademisi merespon dengan cara membentak mahasiswanya bahkan hingga memukul meja”, kata Andry Napitupulu, yang saat ini aktif di organisasi ekstra kampus, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Pematangsiantar-Simalungun.
Adapun poin-poin yang menjadi tuntutan, diantaranya tutup kampus Gihon, kembalikan Ijazah mahasiswa (SD, SMP. SMA/SMK), SK Direktur memberatkan mahasiswa, terlalu banyak janji manis (pembohongan) di kampus Gihon, dan Akreditasi kampus yang tidak jelas, yang merugikan mahasiswa.
Sementara itu dalam orasinya, Cahaya Siregar, seorang pendemo mengungkapkan kekecewaannya dengan pernyataan pihak kampus yang meminta untuk mengembalikan uang Bidikmisi yang diterimanya.
“Bagaimana mungkin kami mahasiswa yang menerima Bidikmisi harus mengembalikan uang yang sudah kami terima bila kami ingin keluar dari kampus dan mengambil Ijazah kami. Hal ini sangat tidak masuk akal bagi kami,” ucap Cahaya hingga meneteskan air mata.
Ditempat yang sama, Elsa Sinaga juga kecewa dengan keputusan kampus yang dinilai memberatkan mahasiswa.
Hal itu terlihat dari syarat menyusun Tugas Akhir (TA) mahasiswa yang harus dan wajib membawa Calon Mahasiswa Baru (Camaba) untuk masuk ke kampus Poligon, atau diancam harus membayar uang kuliah terhitung sejak awal masuk.
“Kita tidak keberatan bila membawa Camaba ke kampus Gihon, hanya saja bila menjadi sebuah keharusan serta menjadi syarat untuk menyelesaikan masa perkuliahan kami, hal itu sangat memberatkan,” kata Elsa.
“Dan tak perlulah pihak kampus berulang kali memberikan ancaman harus membayar uang kuliah sejak awal kami masuk hingga saat ini bila kami tidak mampu membawa Camaba masuk ke kampus Gihon, hal ini sangat merenggut kemerdekaan kami selaku mahasiswa,” tambah Elsa Sinaga dengan raut wajah penuh kekecewaan.
Informasi yang dihimpun, sejak awal masa promosi Politeknik Gihon menjanjikan kuliah gratis hingga tamat. Akan tetapi, perjanjian yang tidak sesuai sejak awal menyebabkan mahasiswa merasa dibohongi.
Dikabarkan sesuai SK Direktur yang diterbitkan pada bulan September 2019, syarat pengambilan Ijazah (SD, SMP, SMA/SMK), mahasiswa terlebih dahulu harus membayar uang kuliah sejak awal masuk.
Salahsatu orangtua mahasiswa, J Silaban mengatakan, sangat kecewa dengan kampus politeknik Gihon (Poligon) Pematangsiantar, pasalnya keputusan ditengah jalan merubah perjanjian dan membebankan uang kuliah menjadi hal yang sangat memberatkan dan tindakan inkonsistensi dan merupakan perbuatan melanggar hukum.
Silaban menambahkan bahwa penahanan Ijazah (SD, SMP dan SMA/SMK) itu tidak ada dasar hukumnya apalagi harus di tebus dengan membayar uang kuliah sejak awal masuk, ini tidak masuk akal katanya.
“Belum lagi di masa pandemi COVID-19 saat ini, yang memukul semua ekonomi orangtua mahasiswa sehingga jika politeknik Gihon benar-benar menagih penebusan Ijazah anak-anak nya, maka dia dan beberapa orang tua korban inkonsistensi politeknik Gihon ini akan menempuh jalur Hukum, tidak ada cara lain, kita harus tempuh jalur hukum demi masa depan anak anak,” kata J Silaban dengan rasa kecewa terhadap kineja dan kebijakan kampus.
Disingung tentang penutupan Gihon, orangtua mahasiswa Gihon ini mengatakan lebih baik dari pada kampus tersebut membuat malau, karena 2 tahun anaknya kuliah disitu kampus ini telah 2 kali pindah gedung.
Hal senada di sampaikan Andry Napitupulu, bila pihak kampus tidak dapat konsisten dalam pernyataannya, maka lebih baik kampus Politeknik Gihon ditutup saja agar tidak ada korban-korban berikutnya.
Aksi berjalan dengan damai meskipun sempat terjadi beberapa gejolak dari pihak Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang nyaris memicu keributan dilapangan. Akan tetapi, massa mampu meredam emosi hingga massa membubarkan diri. (mom)