Seorang kawan yang beragama Kristen bercerita perihal pernyataan seorang ustad yang membahas Salib yang sedang viral di media sosial. Kawan saya yang Kristen itu sedih, tapi tak bisa apa-apa.
Demikianlah senantiasa nasib minoritas yang tak berdaya, bahkan ketika kepercayaannya yang hakiki sebagai manusia dalam meyakini agamanya itu dicederai.
Lantas kawan saya dengan sedih bicara begini, “Tolong Jodh..17 Agustus kok memecah…”
Ya ya.. 17 Agustus, hari ulang tahun republik ini, lahirnya bangsa ini yang diawali oleh kesepakatan semua golongan, kepercayaan, agama, suku, untuk bersatu padu membentuk bangsa bernama Indonesia.
Saya tentu tak pantas untuk memberikan nasihat kepada ulama besar sekelas ustad yang sedang viral itu agar begini dan begitu. Tidak.
Yang bisa saya lakukan hanyalah merasai kesedihan, juga kedukaan kawan saya itu. Kesedihan yang sama pernah saya rasakan manakala Nabi Muhammad dihinakan, Al Quran dilecehkan.
Saya marah, jengkel, tapi tak juga ingin membalas perlakuan brutal itu dengan perbuatan yang sama.
Maaf, memaafkan, adalah di antara kata dan tindakan yang saya yakini paling indah di muka bumi ini, selain cinta, ibu, dan kasih.
Pada titik ini, saya senantiasa berpijak pada firman Allah SWT, Lakum Diinukum wa Liya Diin. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Sebuah garis yang tegas langsung dari Allah untuk tak mencampuri urusan agama orang lain.
Temanku sayang, tak usah sedih berkepanjangan. Tak ada yang bisa memisahkan perkawanan kita. Kau dan aku adalah saudara sebangsa yang diikat oleh kesepakatan para pendiri bangsa ini.
Maafkan mereka yang melukaimu, sebab mereka mungkin tak menyadari akibat perbuatannya.
Kau, seperti juga Made, Asiang, Parto, Nehemia, Barung, tetap kawanku, tetap saudaraku, kini dan nanti.
Ciledug, 17 Agustus 2020
Jodhi Yudono