Terlahir sebagai anak pejabat, biasanya identik dengan gaya hidup hedonis. Wajar saja karena memang orangtua mereka punya banyak uang.
Kita semua tahu, pejabat memiliki gaji besar, apalagi punya jabatan mentereng di salah satu institusi. Hidup nyaman merupakan jaminan potret kehidupan mereka.
Makanya tak heran banyak anak pejabat tampil glamor, bak sosialita. Tapi, tak semua anak pejabat selalu bergelimang kemewahan!
Reinhart Jeremy Anindhita Siregar, adalah tiruan sosok pemuda sederhana dan mandiri, jauh dari dugaan hedonis anak pejabat. Pria kelahiran Jakarta 02 Mei 1995 silam itu, saya pastikan incaran banyak gadis dan mamah muda, ups! Tingginya saja nyaris 180 sentimeter lebih, kulitnya putih, perfect dan gampang senyum. Kekurangannya hanya satu, tak fasih menyebut huruf R.
Selasa (30/06) 2020 lalu, mulai dari Polres, rumah panggung di Desa Air Hitam dan suatu kampung di Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara, Reinhart menguntit kegiatan sang ayah. Mengenakan setelan kemeja dan celana gelap, adik Maria Theresia Tulussianna Siregar dan abang dari Samantha Gabrielle Judithia Siregar itu, tak canggung berbaur. Senyum ramahnya selalu mengembang setiap jumpa orang, siapapun itu.
Dia rela panas-panasan, meski disediakan tempat teduh. Reinhart memilih berjongkok di pinggir kolam (sawah berair) di belakang rumah panggung, bergabung dengan warga desa. Bau menyengat kotoran bebek dari kandang di atas kolam, tak mengganggu hidungnya.
Suara sound system yang memekakkan telinga siang itu pun, disambutnya dengan tawa. Dia asik berjongkok lalu duduk di tanah, memandangi sawah. Setiap ditanya kenapa tidak bergabung dengan tamu lain, dia enteng menjawab. “Enak kan disini, bang, panas-panasan. Lagian, saya kan cuma ajudan, ajudan bapak dari sipil,”katanya, bercanda.
Sederhana, iya. Sopan dan ramah, yes. Mandiri, ya iya. Saking ramahnya, siapapun yang berpapasan dengannya, dilempar senyuman. Karena dia beda dari kebanyakan orang, kulitnya putih, badan tinggi besar plus berparas tampan, orang bisa menebak dia anak pejabat yang ikut dalam acara kunjungan Kapolda Sumut ke Batubara.
Cerita soal mandiri dan males ngerepotin orang, ini yang agak unik dari Reinhart. Siang itu, dia memilih diam dan mendorong sendiri mobil yang ditumpanginya, saat kepater ke dalam lubang yang menganga.
Bukannya teriak minta tolong atau meminta sopirnya turun, Reinhart malah bertindak sendiri. Andai saja dia mau, tangannya tak perlu kotor. Tinggal perintah dan dia tetap di dalam mobil ber AC, tak tersengat terik siang itu.
Tapi ini tidak, dia malah mendorong mobilnya sendiri tanpa bantuan warga dan polisi yang bejibun disitu. Setelah beberapa menit, barulah bala bantuan datang. Bukan karena dia teriak mintol, tapi karena orang yang bejibun tadi kaget melihat sosok pemuda itu berpeluh dan kelelahan di belakang mobilnya.
Pertanyaan saya, kenapalah pemuda satu ini tak mau merepotkan orang lain? Padahal dia bisa dan punya kesempatan untuk itu. Tinggal melambaikan tangan, maka puluhan orang akan memgerubunginya dan rela diperintah.
Dia seolah menyadari, hidup harus mandiri dan kelak dia akan sendiri. Tak melulu mengandalkan pengaruh orang tua dan jabatan. Tak butuh embel-embel nama besar sang ayah, yang notabene bisa saja dilakukannya. Tak terninabobokan di pangkuan ibunya.
“Saya harus bisa (sukaes) karena kemampuan saya sendiri, bang. Saya nggak mau dipandang karena embel-embel nama besar orang tua. Karena kelak yang jalani hidup itu saya,”ucapnya, suatu ketika, di rumah dinas orang tuanya dibilangan Jalan Sudirman, Medan.
Reinhart, memang lain. Dia sama sekali tak aji mumpung, tak sombong, tak petantang petenteng, mentang-mentang ayahnya adalah kepala polisi di Sumatera Utara. Ya, dia adalah anak kedua pasangan Irjen Pol Martuani Sormin Siregar dan Ny Risma Sianturi. Ada puluhan ribu personel polisi yang siap pasang badan untuknya.
Reinhart sosok pemuda berbeda, jika dibandingkan dengan anak pejabat lain. Lazimnya anak pejabat, pasti tak akan rela terjemur matahari, menolak tanganya dikotori debu dan lumpur serta risih badan dan pakaiannya basah akan keringat. Mumpung ayah menjabat, biasanya, segala fasilitas kemudahan dan kemewahan bakal dimanfaatkan anak-anak pejabat.
Tapi ini tidak. Kawalan ketat pasukan pengawal pribadi saja, tak ada melekat dan seolah dihindarinya. Dia kebanyakan berjalan sendiri dan makan pun ambil sendiri, sementara sang ayah dan rombongan pejabat utama Poldasu dijamu makan lezat.
Sepertinya dia dididik untuk melayani diri sendiri, hidup sederhana, tidak cengeng dan tidak manja. Dia tumbuh menjadi sosok pemuda ramah, sederhana dan mandiri, impian sebagian besar orang tua di dunia ini. Apa sih yang tak dia punya? Semua ada dan tinggal perintah, kalau dia mau..
“Kami diajarkan untuk hidup sederhana sejak kecil bang. Kami tahu bagaimana pengabdian papa (Kapoldasu) selama menjadi polisi. Malah, kami dulu pernah berjualan door to door, untuk cari tambahan. Jadi kami faham betul gimana hidup susah,”kata Maria, sang kakak mengisahkan kegetiran hidup keluarga mereka.
Oh…pantes!
(wiku)