Sangat jarang kita melihat adanya para akademisi yang benar-benar berjuang untuk rakyat apalagi terhadap idealisme berpikirnya.
Akademisi dari berbagai organisasi manapun, baik masyarakat, LSM, komunitas, kelompok dan perkumpulan lainnya, telah kehilangan idealisme dan tergadaikan dengan kepentingan kekuasaan.
Jelas terindikasi sudah bahwa Akademisi kini berada di bawah kekuasaan salah satu bacalon bupati Asahan dengan menjadikan ketua yayasan di salah satu kampus Asahan sebagai tim suskes walau secara jelas tidak diatur dalam aturan yang berlaku akan tatapi hal ini rentan untuk mencendrai keberlangsungan demokrasi di Kabupaten Asahan.
Mereka menjadi akademisi yang remeh-temeh dan tebar pencitraan melalui sosial media dengan cara viral. Eksis yang beragam bahkan berlebihan mulai dari masuk di dunia politik sehingga jadi politisi yang hanya mengumbar janji.
Akademisi yang kehilangan idealisme dan menjadi rentenir keberpihakan layaknya sebuah perusahaan atau korporasi yang sedang berjualan mencari untung dan uang.
Hal ini bisa jadi karena hilangnya teladan dari generasi tua sebagai generasi pendahulu yang tidak lagi menjadi contoh di tengah gejolak serta problematika masyarakat sehingga menjadi intektual yang saling sikut, comot kiri comot kanan layaknya hewan sedang berebutan makanan yang akhirnya tidak lagi ada akal sehat dan logika intelektual melainkan insting untuk menang, kenyang dan senang.
Persaudaraan, keharmonisan dan kemanusiaa kini berganti dengan budaya bullying, baik di sosial media dan di realitas sosial dan terus berjalan dari golongan intektual, pemuda, orang tua sampai golongan tampa golongan.
Akademisi yang seharusnya sebagai jembatan masyarakat untuk mendapatkan haknya dan menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah malah menjadi penjilat demi kepentingan kekuasaan, bergandeng tangan seolah tidak ada pilihan selain menjadi timses dari para kandidat dan bagi-bagi jabatan.
“Wajar ketika kita masyarakat awam bertanya, kemana orang akademisi?”
Tentu jawaban mereka sedang keasikan menyiapkan strategi kemenangan sehingga lupa bahwa masyarakat butuh mereka yang melihat, mendengar, mengakomodir seluruh keluh kesah mereka untuk disampaikan kepada pemerintah sehingga hak rakyat kecil, rakyat tertindas, rakyat miskin yang termarjinalkan harus tersampaikan serta dibela.
Karena dengan begitu suara masyarakat yang berada di bawah dan berada di garis kemiskinan harus terus diperjuangkan, sehingga pemerintah hadir secara nyata dalam membantu sekaligus memberikan jaminan kehidupan pada masyarakat bukan hadir di saat momentum Pilkada lalu tebar pesona dan cari muka. Akademisi kehilangan marwah!
Mereka akhirnya bungkam, tak bersuara, nyenyak, kenyang bahkan naik menjadi elite hanya karena nama dan jabatan. Tidak sadarnya akademisi dan aktivis gerakan karena idealismenya berubah menjadi kepentingan sesaat sebagai paham kehidupan yang tercuci otak, nalar intelektualnya sehingga apapun bisa berpaling dari kata berjuang untuk masyarakat kecil.
Meminjam pendapat Soedjatmoko (bung koko) seorang cendikiawan mengatakan perlunya sebagian intelektual tetap berada “diluar pagar” untuk mengkritisi setiap kebijakan koleganya, kaum teknokrat di lingkar kekuasaan. Tidak perlu ada dikotomi antara asketisme intelektual dan mereka yang merasa nyaman.
“Bergelayut dibawah pohon rindang kekuasaan.” (*)