Pergolakan tahun politik di Pileg dan Pilpres 2018-2019 benar-benar sangat tinggi. Perseteruan semakin hangat dan bahkan kian memanas, perlombaan persaingan mencari dukungan pemilih pun semakin tajam, perebutan pemilih milineal bahkan sampai orang gila pun menjadi rebutan.
Oleh: Syafruddin Yusuf, Pimred Taslabnews.com
Pemilu di rumah sakit jiwa tahun ini adalah sejarah bagi bangsa Indonesia bahkan mungkin di dunia. Karena untuk pertama kali penderita gangguan jiwa difasilitasi oleh negara untuk menyalurkan hak pilihnya.
Sementara para tim sukses bukannya saling memberikan contoh yang baik atau program kerja junjungan yang akan dipilih. Tapi aksi saling hujad, saling menjatuhkan terus terjadi di media sosial.
Pesta demokrasi kali ini tidak saja diikuti oleh ”orang-orang waras”.
Atas desakan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), pada pemilihan presiden kali ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat terobosan baru dengan memberikan hak suara kepada penderita gangguan jiwa.
Ya di tahun politik yang penuh intrik, dengan dikabarkan orang gila akan diberi hak pilih dalam pemilu pesta demokrasi saat ini banyak yang protes banyak pula yang mendukung.
BACA BERITA MENARIK LAINNYA:
KPU memfasilitasi penyelenggaraan pemilu di tempat-tempat perawatan orang gila seperti rumah sakit jiwa (RSJ) dan panti-panti sosial.
Semua penderita yang sedang dalam perawatan memiliki hak pilih.
Dengan Landasan hukum utamanya adalah Undang-Undang (UU) No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif dan UU No 42/2012 tentang Pemilu Presiden.
“Dalam kedua UU itu disebutkan bahwa peserta pemilu adalah warga negara yg telah berusia 17 tahun atau sudah menikah.
Dan berikutnya adalah Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang diratifikasi Indonesia melalui UU No 19/ 2011.
Di dalamnya dengan tegas menyatakan bahwa penyandang disabilitas (termasuk penderita disabilitas mental) mempunyai hak yang sama dengan warga negara lain dalam kehidupan bernegara, termasuk hak untuk memilih dalam pemilu.
Sedangkan disisi lain bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh para orang “Gila” tidak bisa dipertanggung jawabkan, baik itu secara moral maupun secara hukum.
“Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.
Pasal 44 ayat (1) KUHP). Dan Pasal 44 ayat (2) KUHP berbunyi: “Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.
Pro dan kontra muncul ketika hak politik pengidap gangguan jiwa mulai dipersoalkan. Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2016 lalu telah mengabulkan sebagian gugatan uji materi tentang syarat pemilih dalam UU Pilkada No.8/2015 pasal 57 ayat 3 huruf a, yang berbunyi ‘pemilih harus memuhi syarat tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya’.
MK menilai frasa ‘tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya’ tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mengalami gangguan ingatan permanen. Artinya, frasa ‘gangguan jiwa’ sangat luas seperti stres, paranoid, fobia yang tidak termasuk ‘gila’. Karena dalam pasal 57 tersebut tidak dirinci tentang gangguan jiwa yang dimaksud. Padahal selama ini stigma yang ada di masyarakat, gangguan jiwa adalah ‘gila’.
Keputusan MK tersebut sudah jelas, bahwa pengidap gangguan jiwa sangat luas dan harus dibedakan dengan pengidap ‘gila’. MK mengeluarkan keputusan tersebut untuk menghindari kesan diskriminatif bagi pengidap gangguan jiwa. Akan tetapi, keputusan hukum tersebut juga harus diimplementasikan secara benar oleh penyelenggara pemilu.
Penyelenggara Pileg dan Plpres 2019 harus cermat dalam memutuskan mana pasien pengidap kejiwaan yang bisa mengikuti pemilu dan mana yang tidak. Kondisi pasien harus betul-betul dicermati, dan ini tentu dibutuhkan keterangan atau rekomendasi dari ahli kejiwaan.
Bagi pengidap stres biasa, paranoid atau fobia yang hanya mengalami gangguan emosional, pemikirannya masih termasuk normal dan mampu memilih pemimpin sesuai keinginannya. Yang dikhawatirkan, pasien gangguan jiwa berat dan hilang ingatan, juga dibolehkan memilih. Apa mungkin orang hilang ingatan bisa menilai sosok calon pemimpin yang dipilihnya?
Hak konstitusional pengidap gangguan jiwa tetap harus diberikan. Tapi di sisi lain, penyelenggara pemilu harus betul-betul cermat. Jangan sampai timbul polemik, atau tudingan memobilisasi pasien hilang ingatan.
Ketika orang tak waras alias gila, diberi hak untuk ikut memilih dalam pemilu pesta demokrasi di masa kini, lantas siapakah yang benar-benar gila?
Bagaimana pemerintahan hasil pemilihan dari orang gila tersebut kedepannya ? (***)