Perempuan cerdas akan lebih terlihat menarik karena sikap dan tindakannya yang begitu mengesankan.
Oleh : Amalia Azmi Sitorus
Bidang Diklat Kohati PB HMI
Perempuan cerdas tau bagaimana dia bertindak dan cara memperlakukan orang lain dengan baik. Perempuan cerdas tau apa yang harus diperjuangkan dan ke mana ia akan melangkah, memiliki tujuan yang jelas dalam hidup ini.
Amalia Azmi Sitorus |
Ia tidak akan pernah berhenti dan selalu berjuang memperbaiki diri karena ia sadar bahwa ia akan dihadapkan berbagai tantangan yang semakin tinggi. Ia berani bertindak dan siap menerima konsekuensi yang ada.
Sebagai seorang perempuan, akan menjadi seorang ibu nantinya adalah kodrat dari Tuhan yang tidak bisa dihindari. Nah, nantinya ketika memiliki anak, kita lah orang pertama yang akan membimbing anak-anakmu tersebut.
Kita juga lah yang akan mengajarkan banyak hal padanya. Maka dari itu, cerdas adalah hal yang sangat penting. Kita harus menjadi perempuan yang cerdas untuk bekal dalam mendidik anak-anaknya nantinya. Cantik saja bagi seorang perempuan tidak cukup.
Perempuan yang cantik juga harus cerdas, karena anak-anak yang cerdas berasal dari seorang ibu yang cerdas juga. Dan kita bisa mendapatkan itu semua jika kita rajin membudayakan literasi. Maka dari itu, jangan menyepelekan budaya literasi.
Dengan membudayakan literasi kemampuan dan kecerdasan kita akan semakin meningkat. Banyak dari kalangan awam bahkan cendikiawan dan akademisi kurang mampu menganalisi mana yang sebenarnya berita hoax atau berita yang sebenarnya (Real news) dikarenakan Media sekarang mampu membungkus judul yang tak sesuai dengan beritanya, sehingga banyak menimbulkan kontraversi di lapisan kalangan masyarakat.
Banyak kalangan yang menelan berita bulat-bulat atau tanpa menyaring kebenaran informasi berita tersebut, maka kita selaku perempuan apalagi yang berkecimpung di dalam organisasi harus cerdas dalam menganalisis mana berita yang sebenarnya atau hanya berita hoax.
Dalam membentuk kemampuan untuk bisa mencerna berita memerlukan upaya literasi media yang baik. Literasi media adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media.
Dari sana, seseorang akan tahu informasi mana yang kredibel dan bisa dipercaya dan dengan sendirinya digunakan, dikutip, dan disebarluaskan dan mana informasi yang tak jelas sumbernya sehingga tidak bisa dipercaya dan disebarluaskan.
Tentu, kemampuan tersebut tak bisa dimiliki secara instan. Kemampuan memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi suatu informasi dengan baik harus dilatih dan dibiasakan. Salah satu hal paling mendasar yang sangat menentukan dalam konteks upaya literasi media adalah kebiasaan membaca.
Sayangnya, sebagaiman kita ketahui, minat baca dan budaya literasi masyarakat khususnya kaum perempuan masih rendah. Hasil riset World Most Literate Nation yang disusun Central Connecticut State University menempatkan Indonesia di peringkat ke 60 dari 61 negara dalam hal budaya literasinya.
Sementara di satu sisi, kita masuk dalam lima besar negara pengguna smartphone terbanyak di dunia. Dengan banyaknya pengguna smartphone dan dengan demikian media sosial, ditambah minimnya literasi media, jadilah kita menjadi masyarakat yang mudah termakan isu atau berita palsu di dunia maya, kemudian mudah menyebarkannya.
Hal tersebut tak bisa dilepaskan dari kecenderungan mayarakat kita yang tak terbiasa berpikir kritis dalam mengkonsumsi berita, yang berpangkal dari minimnya minat baca budaya literasi, dan literasi media di masyarakat.
Lemahnya budaya literasi membentuk pola berfikir perempuan yang kurang mampu bernalar. Lemahnya kemampuan bernalar akan membuat seseorang sulit berpikir jernih dan kritis dalam memandang setiap persoalan, sehingga yang muncul adalah emosi dan egoisme.
Alhasil, isu-isu provokatif dan hasutan yang dihembuskan berita-berita hoax akan dengan mudah diterima dan disebarkan, sebagai ekspresi amarah dan kebencian. Kemampuan bernalar merupakan bekal penting di era digital yang dibanjiri informasi seperti sekarang. Nalar yang sehat akan membuat seseorang bisa berpikir kritis dan berusaha obyektif dalam menilai segala sesuatu, termasuk dalam memandang suatu isu atau berita.
Nalar yang sehat akan membentengi seseorang dari prasangka, kebencian, emosi, dan egoisme yang bisa memengaruhi pemikirannya dalam menilai suatu persoalan.
Untuk mengatasi maraknya berita palsu (hoax) adalah persoalan bagaimana mendidik kaum perempuan agar menjadi lebih kritis dan memiliki kemampuan bernalar yang baik. Jadi, selain dengan penegakan hukum terhadap pembuat dan penyebar berita palsu (hoax), kita juga perlu mengatasinya dari hulu edukasi dan literasi media di masyarakat.
Saat ini banyak digaungkan agar lebih paham dan mengerti tentang fungsi media. Literasi atau melek tentang media akan memudahkan pembaca dan konsumen berita untuk bisa memilih dan memilah berita-berita yang benar dan yang palsu (hoax). Kaum perempuan yang tidak buta huruf media akan memberikan energi positif bagi pembangunan bangsa, sebaliknya yang tidak paham akan mudah digiring untuk mempercayai berita-berita yang tidak benar dan menyesatkan yang pada akhirnya menimbulkan perpecahan dan polarisasi yang tidak terelakkan.
Maka dari itu pentingnya literasi media sejak dini merupakan gatekeeper lapisan utama dan terpenting saat pembaca menerima berita dari berbagai media. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menghentikan penyebaran berita hoaks di media sosial.
Wacana untuk menerapkan pembelajaran mengenai literasi media sejak usia sekolah dasar dipandang sebagai upaya yang kelak akan menjadi solusi penyebaran hoaks yang merugikan. Peran pemerintah dalam mengatasi berita hoaks sangat penting, begitu pula media serta dewan pers yang memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam hal tersebut.
Perlu ditegaskan kembali, Kaum perempuan harus membudayakan dan membangun literasi media ditengah masyarakat agar menjadi benteng terbaik dalam menghadapi maraknya penyebaran berita hoaks. The more social media we have, the more we think we’re connecting, yet we are
really disconnecting from each other (JR)