TASLABNEWS, TANJUNGBALAI– Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melalui perwakilan Provinsi Sumatera Utara (BPKP) didesak untuk melakukan audit investasi terhadap pengerjaan pembangunan jalan Lingkar Utara Tahun Anggara 2016 .
Jalan lingkar utara Tanjungbalai. |
Desakan itu dilontarkan ketua Forum Mahasiswa dan Pelajar (Formap) Kota Tanjungbalai Ridho Triseptian Damanik SH kepada Taslabnews, Selasa (28/8).
Ridho mengatakan pekerjaan tersebut patut diduga sangat merugikan keuangan negara yang sangat besar, pasalnya dalam laporan hasil pemeriksaan keuangan Tanjungbalai tahun 2016 pada proyek ini terdapat kerugian negara sebesar kurang lebih Rp1,7 miliar.
“Dilandasi UU NO. 15 Tahun 2006 tentang BPK, kami mendesak kepada BPK perwakilan provinsi Sumatera Utara untuk melakukan audit investigasi terhadap pengerjaan proyek lanjutan pembangunan jalan lingkar utara Tanjungbalai Tahun Anggaran 2016,” kata Ridho.
Menurut Ridho kerugian negara Rp1,7 miliar tersebut dihasilkan dari uji petik yang dilakukan BPK terhadap beberapa titik proyek jalan lingkar utara Tanjungbalai dengan menggunakan metode sampling.
“Dan kita ketahui pembangunan jalan lingkar utara dikerjakan sepanjang kurang lebih 14 Kilo meter dengan lebar 22 meter dan memakan anggaran kurang lebih Rp50 miliar yang bersumber dari APBD Tanjungbalai. Dan jika dalam uji petik yang dilakukan oleh BPK dapat menemukan kerugian negara sebesar Rp1,7 miliar maka kita meyakini jika dilakukan audit investigasi terhadap keseluruhan luasan pekerjaan tersebut maka kerugian negara akan bertambah besar,” ucapnya.
“Oleh karenanya, kami berharap BPK melakukan audit investigasi terhadap kesuluruhan luasan proyek tersebut. Kami meminta audit dilakukan untuk keseluruhan pekerjaan, agar dapat diketahui berapa jumlah kerugian negara yang di timbulkan,” tambahnta.
Dengan kembali dilakukannya audit investigasi akan dapat membongkar pihak-pihak yang terlibat sebab kata Ridho sudah menjadi konsumsi yang dirahasiakan, untuk mendapatkan pekerjaan proyek di Kota Tanjungbalai, kontraktor disinyalir dimintai “uang setoran” sejumlah 12-15% dari anggaran. Dan diserahkan sebelum pekerjaan dimulai.
“Kita duga praktik ini biasanya dilakukan oleh oknum-oknum yang mempunyai kedekatan dengan kepala daerah. Dengan demikian akan mempermudah kontraktor yang sudah melakukan “setoran” untuk memenangkan proses lelang terkait proyek tersebut. Praktek kolusi inilah yg kemudian menjadi embrio dan melahirkan perlakuan yang koruptif,” katanya.
Lain lagi tambah Ridho terdapat dugaan bagi-bagi fee yang di peruntukkan pejabat-pejabat dinas terkait, mulai dari kelompok kerja (POKJA) lelang, oknum kepala dinas PPTK, Pengawas, PHO serta pihak-pihak dinas yang terkait.
Dimana bagi-bagi fee ini dapat menghabiskan 7-8% dari Anggaran proyek . Mesti tanpa aturan tertulis, namun praktik haram ini lazim dikerjakan oleh oknum-oknum dinas yang terlibat dalam sebuah pekerjaan proyek.
“Tentunya akibat dari hal itu sangat mempengaruhi mutu pengerjaan sebuah proyek dikarenakan, rekananan atau kontraktor tentu tidak ingin memperkecil keuntungan sementara ada banyak pihak yang harus di “setor.”
Maka, dalam hal praktik merugikan keuangan negara ini, tidak bisa hanya menyalahkan pihak kontraktor saja, harus juga dirunut siapa pihak yang memberikan voucer atau arahan kepada kontraktor. Karena ditahap inilah permufakatan jahat itu dimulai.
Pengarah atau pemberi voucher proyek biasanya dilakukan oleh oknum yang punya kedekatan dengan kepala daerah atau orang yang di tugaskan untuk menangani bagi-bagi proyek pekerjaan.
“Dengan audit investigasi itu nantinya kita harapkan dapat mengungkap pihak-pihak yang terkait, mulai dari Pengarah,pemberi voucher atau Penentu proyek, Kelompok kerja lelang,dan oknum-oknum dinas, dan pihak kontraktor,” ucap ridho.(Rik/syaf)