TASLABNEWS, Defisit neraca keuangan yang dialami BPJS Kesehatan membuat lembaga ini berupaya melakukan penghematan biaya.
Merujuk dari Rencana Kinerja dan Anggaran Tahunan BPJS Kesehatan tahun 2018, pendapatan ditargetkan mencapai Rp 79,77 triliun dan pembiayaan sebesar Rp 87,80 triliun yang artinya defisit sekitar Rp 8,03 triliun.
Penghematan itu membuat BPJS Kesehatan mengeluarkan tiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) baru.
Ketiga peraturan itu adalah Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan KesehatanNo.2/2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan KesehatanNo.3/2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat, dan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan No.5/ 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik.
Dengan terbitnya tiga aturan itu diyakini BPJS Kesehatan bisa menghemat anggaran hingga Rp 360 miliar.
“Efisiensi yang diharapkan atas penataan penjaminan ketiga tindakan ini hampir sekitar Rp 360 miliar apabila dilaksanakan sejak Juli ini,” ujar Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief.
Penjelasan terkait tiga aturan baru
BPJS membantah rumor yang beredar yang menyebutkan bahwa BPJS menghapus penjaminan layanan katarak, rehabilitasi medik, dan bayi baru lahir sehat.
Budi Mohamad Arief saat jumpa pers. |
Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief mengatakan, BPJS Kesehatan tetap memberikan penjaminan pelayanan kesehatan untuk katarak, rehabilitasi medik, dan bayi baru lahir sehat. Lebih tepatnya dengan terbitnya Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2, 3 dan 5 Tahun 2018 tersebut dimaksudkan untuk memperjelas tatacara agar tiga manfaat pelayanan medis di atas lebih tepat pemanfaatannya.
“Apabila ada yang menyebut BPJS Kesehatan mencabut 3 pelayanan kesehatan tersebut, berita tersebut hoax. BPJS Kesehatan tetap menjamin pelayanan katarak, rehabilitasi medik termasuk fisioterapi, dan bayi baru lahir sehat. Perdirjampelkes memperjelas tata cara penjaminan agar pemanfaatannya lebih efektif dan efisien,” ujarnya, dalam jumpa pers di Media Center BPJS Kesehatan di Jakarta, Senin (30/07), dilansir dari bpjs-kesehatan.go.id.
“Bila tidak melaksanakan tugasnya, berarti BPJS Kesehatan melakukan pembiaran terhadap ketidakefisienan. Selain itu, tak benar ada pembatasan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta JKN-KIS. Penjaminan pembiayaan BPJS Kesehatan juga memperhatikan kemampuan keuangan BPJS Kesehatan saat ini,” jelas Budi.
Budi menjelaskan, dalam peraturan mengenai pelayanan katarak, BPJS Kesehatan akan menjamin pelayanan operasi katarak. Peserta penderita katarak dengan visus (lapang pandang penglihatan) pada kriteria tertentu dengan indikasi medis dan perlu mendapatkan operasi katarak, akan tetap dijamin BPJS Kesehatan. Penjaminan juga memperhatikan kapasitas fasilitas kesehatan seperti jumlah tenaga dokter mata dan kompetensi dokter mata yang memiliki sertifikasi kompetensi.
Lebih lanjut Budi menjelaskan terkait dengan peraturan mengenai bayi baru lahir sehat, disampaikan bahwa BPJS Kesehatan akan menjamin semua jenis persalinan — baik persalinan biasa/normal (baik dengan penyulit atau tanpa penyulit) maupun tindakan bedah caesar, termasuk pelayanan untuk bayi baru lahir — dapat ditagihkan oleh fasilitas kesehatan dalam satu paket persalinan dengan ibunya. Namun apabila bayi membutuhkan pelayanan atau sumber daya khusus, sesuai Perdirjampelkes Nomor 3, faskes dapat menagihkan klaim di luar paket persalinan dengan ibunya.
Terakhir, terkait dengan peraturan yang mengatur tentang rehabilitasi medik atau fisioterapi, pelayanan tersebut tetap dijamin dengan kriteria frekuensi maksimal yang ditetapkan dalam Perdirjampelkes Nomor 5.
“Apabila ada yang menyebut BPJS Kesehatan mencabut 3 pelayanan kesehatan tersebut, berita tersebut hoax. BPJS Kesehatan tetap menjamin pelayanan katarak, rehabilitasi medik termasuk fisioterapi, dan bayi baru lahir sehat. Perdirjampelkes memperjelas tata cara penjaminan agar pemanfaatannya lebih efektif dan efisien,” ujarnya, dalam jumpa pers di Media Center BPJS Kesehatan di Jakarta, Senin (30/07), dilansir dari bpjs-kesehatan.go.id.
“Bila tidak melaksanakan tugasnya, berarti BPJS Kesehatan melakukan pembiaran terhadap ketidakefisienan. Selain itu, tak benar ada pembatasan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta JKN-KIS. Penjaminan pembiayaan BPJS Kesehatan juga memperhatikan kemampuan keuangan BPJS Kesehatan saat ini,” jelas Budi.
Budi menjelaskan, dalam peraturan mengenai pelayanan katarak, BPJS Kesehatan akan menjamin pelayanan operasi katarak. Peserta penderita katarak dengan visus (lapang pandang penglihatan) pada kriteria tertentu dengan indikasi medis dan perlu mendapatkan operasi katarak, akan tetap dijamin BPJS Kesehatan. Penjaminan juga memperhatikan kapasitas fasilitas kesehatan seperti jumlah tenaga dokter mata dan kompetensi dokter mata yang memiliki sertifikasi kompetensi.
Lebih lanjut Budi menjelaskan terkait dengan peraturan mengenai bayi baru lahir sehat, disampaikan bahwa BPJS Kesehatan akan menjamin semua jenis persalinan — baik persalinan biasa/normal (baik dengan penyulit atau tanpa penyulit) maupun tindakan bedah caesar, termasuk pelayanan untuk bayi baru lahir — dapat ditagihkan oleh fasilitas kesehatan dalam satu paket persalinan dengan ibunya. Namun apabila bayi membutuhkan pelayanan atau sumber daya khusus, sesuai Perdirjampelkes Nomor 3, faskes dapat menagihkan klaim di luar paket persalinan dengan ibunya.
Terakhir, terkait dengan peraturan yang mengatur tentang rehabilitasi medik atau fisioterapi, pelayanan tersebut tetap dijamin dengan kriteria frekuensi maksimal yang ditetapkan dalam Perdirjampelkes Nomor 5.
Tindakan rehabilitasi yang semula bisa dilakukan lebih dari 2 kali dalam satu minggu, kini dibatasi menjadi maksimal 2 kali setiap minggunya.
“BPJS Kesehatan mengapresiasi dan menampung semua aspirasi, baik Kementerian Kesehatan, DJSN, asosiasi, perhimpunan profesi dan pihak terkait lainnya. Implementasi Perdirjampelkes 2, 3, dan 5 akan ditingkatkan menjadi peraturan badan, melalui mekanisme dan ketentuan yang ada,” ujar Budi.
“BPJS Kesehatan mengapresiasi dan menampung semua aspirasi, baik Kementerian Kesehatan, DJSN, asosiasi, perhimpunan profesi dan pihak terkait lainnya. Implementasi Perdirjampelkes 2, 3, dan 5 akan ditingkatkan menjadi peraturan badan, melalui mekanisme dan ketentuan yang ada,” ujar Budi.
Dinilai merugikan pasien
PB IDI menilai tiga aturan baru BPJS Kesehatan akan merugikan pasien. Ketua PB IDI Ilham Oetama Marsis mengatakan, semua kelahiran harus mendapatkan penanganan yang optimal karena bayi baru lahir berisiko tinggi mengalami sakit, cacat, bahkan kematian.
Marsis menilai aturan baru BPJS Kesehatan terkait perawatan bayi bertentangan dengan semangat IDI untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian bayi.
Terkait kasus katarak, Marsis mengatakan, kebutaan akibat katarak di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Aturan baru BPJS Kesehatan malah akan mengakibatkan angka kebutaan semakin meningkat.
Minta ditunda
Kementerian Kesehatan mendesak BPJS Kesehatan untuk menunda pelaksanaan tiga aturan yang baru diterbitkan tersebut.
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek mengatakan, dalam hal ini tidak ada diagnosa bayi lahir sehat atau bayi lahir sakit. Menurutnya bayi yang sehat dalam kandungan belum dapat dipastikan persalinannya normal.
Dalam keadaan selanjutnya bisa terdapat komplikasi yang sebelumnya tidak diketahui sehingga memerlukan pemantauan untuk mencegah kematian bayi dan untuk keselamatan ibunya.
Minta dicabut
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) meminta BPJS Kesehatan untuk mencabut tiga peraturan direktur tersebut karena dinilai menyalahi aturan.
Ketua DJSN Sigit Priohutomo menyebutkan Direksi BPJS Kesehatan tidak berwenang menetapkan manfaat JKN yang dapat dijamin. Manfaat JKN diatur dalam Peraturan Presiden yang ditetapkan oleh presiden.
Selain itu penyusunan tiga peraturan direktur disebut tidak didahului dengan kajian yang dikonsultasikan pada DJSN dan para pemangku kepentingan.
Dia menambahkan penerbitan peraturan direktur tersebut juga dinilai tidak mengikuti tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan UU Nomor 12 Tahun 2011.
PB IDI juga mendesak BPJS Kesehatan membatalkan aturan itu. Menurut lembaga profesi dokter ini, salah satu yang terdampak aturan tersebut adalah dokter.Sejumlah tindakan kedokteran akan dibatasi dengan adanya aturan itu.
Hal tersebut, kata Marsis, berpotensi melanggar sumpah dan kode etik yaitu melakukan praktek kedokteran tidak sesuai standar profesi.
Penerapan aturan itu juga berpotensi meningkatkan konflik antara dokter dengan pasien serta dokter dengan fasilitas pelayanan kesehatan.
Alasan lain mengapa aturan itu harusnya dibatalkan karena berpotensi melanggar Undang-Undang (UU) SJSN Nomor 40 Tahun 2004 Pasal 24 ayat 3.
Dalam melakukan upaya efisiensi, BPJS Kesehatan harusnya tidak mengorbankan mutu pelayanan dan membahayakan keselamatan pasien. (kmc/int)