TASLABNEWS, Anda pasti kenal dengan jangrik. Saat ini, tidak ada alasan lagi untuk menolak mengonsumsi jangkrik. Selain aman dikonsumsi, jangkrik juga baik untuk kesehatan usus.
Jangkrik |
Dalam temuan yang terbit di jurnal Scientific Reports, para ahli dari University of Wisconsin-Madison Nelson Institute for Environmental Studies menemukan bahwa jangkrik dapat meningkatkan bakteri usus yang baik untuk tubuh dan mengurangi risiko peradangan.
Tak usah diragukan lagi, sebab para ahli telah melakukan uji klinis pada manusia.
“Ada banyak orang yang menaruh minat pada serangga yang bisa dimakan. Serangga memiliki daya tarik karena dapat dijadikan sebagai sumber protein ramah lingkungan yang berkelanjutan dibandingkan ternak tradisional,” kata peneliti utama Valerie Stull dilansir IFL Science, Senin (6/8).
Dalam laporannya, para ahli juga menemukan bahwa jangkrik mengandung serat berbeda dari yang biasa ditemukan di buah dan sayuran. Beberapa jenis jerat meningkatkan pertumbuhan bakteri baik seperti probiotik.
“Jangkrik tidak hanya aman dikonsumsi, tetapi juga dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri usus yang menguntungkan dan membantu mengurangi peradangan dalam tubuh,” ujar Stull.
Dalam penelitiannya, Stull melibatkan 20 relawan berusia 18 sampai 48 tahun. Partisipan dibagi dalam dua kelompok.
Selama dua minggu, kelompok pertama diberi sarapan berupa kue muffin atau minuman shake yang sudah diberi campuran 25 gram bubuk jangkrik, sementara kelompok kedua diberi makanan normal tanpa kandungan jangkrik. Dua minggu berikutnya, kedua kelompok bertukar pola makan.
Baik sebelum dan sesudah sarapan, semua peserta diwawancarai. Ahli pun mengambil sampel darah dan tinja untuk mengamati berbagai perubahan kesehatan.
“Studi ini penting karena serangga menjadi tren baru dan kita harus membuktikan efeknya bagi kesehatan. Seperti kita tahu mikrobiota usus berkaitan erat dengan kesehatan manusia, maka penting untuk mengetahui bagaiamana makanan memengaruhi populasi mikroba usus. Kami menemukan, jangkrik sebenarnya memberi manfaat lain di luar gizi,” ujar Tiffany Weir, profesor ilmu makanan dan gizi di Colorado State University.
Setelah dianalis, sistem mikroba usus tidak mengalami perubahan besar dan peradangan usus tetap stabil.
Ahli menemukan, ada peningkatan enzim Bifidobacterium animalis yang terkait dengan kesehatan usus, serta penurunan protein inflamasi dalam darah yang disebut TNF-alpha. Keduanya telah dikaitkan dengan kondisi seperti depresi dan kanker.
Para peneliti juga menemukan peningkatan bakteri usus menguntungkan, terkait dengan fungsi gastrointestinal yang membaik.
Kini, tak usah ragu lagi untuk menyantap jangkrik ataupun serangga. Bagaimana pun, hal ini demi kesehatan tubuh kita.
“Makanan itu berkaitan erat dengan budaya. Kita ambil contoh, 20 sampai 30 tahun lalu orang AS tidak mau makan sushi karena merasa jijik. Namun kini semuanya berubah bukan?” ujar Stull.
Baik sebelum dan sesudah sarapan, semua peserta diwawancarai. Ahli pun mengambil sampel darah dan tinja untuk mengamati berbagai perubahan kesehatan.
“Studi ini penting karena serangga menjadi tren baru dan kita harus membuktikan efeknya bagi kesehatan. Seperti kita tahu mikrobiota usus berkaitan erat dengan kesehatan manusia, maka penting untuk mengetahui bagaiamana makanan memengaruhi populasi mikroba usus. Kami menemukan, jangkrik sebenarnya memberi manfaat lain di luar gizi,” ujar Tiffany Weir, profesor ilmu makanan dan gizi di Colorado State University.
Setelah dianalis, sistem mikroba usus tidak mengalami perubahan besar dan peradangan usus tetap stabil.
Ahli menemukan, ada peningkatan enzim Bifidobacterium animalis yang terkait dengan kesehatan usus, serta penurunan protein inflamasi dalam darah yang disebut TNF-alpha. Keduanya telah dikaitkan dengan kondisi seperti depresi dan kanker.
Para peneliti juga menemukan peningkatan bakteri usus menguntungkan, terkait dengan fungsi gastrointestinal yang membaik.
Kini, tak usah ragu lagi untuk menyantap jangkrik ataupun serangga. Bagaiamana pun, hal ini demi kesehatan tubuh kita.
“Makanan itu berkaitan erat dengan budaya. Kita ambil contoh, 20 sampai 30 tahun lalu orang AS tidak mau makan sushi karena merasa jijik. Namun kini semuanya berubah bukan?” ujar Stull. (syaf/kmc/int)