Walikota Siantar Hefriansyah |
Psntauan wartawan, kedatangan rombongan IKEIS ke kantor DPRD, sekira pukul 12.00 Wib. Kedatangan mereka disambut sejumlah anggota Komisi 1, seperti Tongam Pangaribuan, Denny Siahaan dan Nurlela Sikumbang.
Ketua IKEIS Siantar, Lisman Saragih didampingi Sekretarisnya, Bakti Damanik mengatakan, mereka menyampaikan pernyataan sikap secara resmi ke DPRD lantaran adanya penistaan, pelecehan dan penghinaan suku Simalungun oleh Pemko Siantar.
BACA BERITA TERKAIT: https://www.taslabnews.com/search?q=Walikota+siantar&m=0
Menurut Lisman, tindakan penistaan, pelecehan dan penghinaan dilakukan Pemko di antaranya menyebut Siantar sebagai kota pusaka, yang bermakna suku Simalungun sebagai pemilik tanah leluhur, tanah adat dan tanah budaya di Siantar sudah tinggal pusaka atau tinggal sejarah semata.
Memaknai suku Simalungun tinggal pusaka dilihat dari gambar atau desain yang dibuat panitia HUT Siantar, di mana ada rumah bolon kecil mirip dengan yang terbakar di Kecamatan Purba, dikelilingi tujuh suku lain mengenakan pakaian adat masing-masing tanpa menyertakan suku Simalungun.
“Dari gambar itu kami menganggap Pemko sengaja dan terencana untuk menghapuskan suku Simalungun dari Kota Siantar,” tutur Lisman.
Lisman menambahkan, Pemko Siantar melecehkan adat dan budaya suku Simalungun, di mana saat pembukaan MTQ di Kecamatan Siantar Simarimbun, menyambut walikota menggunakan adat suku Melayu dan menolak penggunaan adat suku Simalungun sebagaimana lazimnya.
Lalu pada saat kedatangan Presiden Jokowi ke Siantar tidak disambut dengan adat dan budaya suku Simalungun, sebaliknya para pelajar yang dikerahkan menggunakan adat dan budaya suku lain.
“Bahkan untuk ulang tahun Siantar sebagai tanah leluhur kami, kepanitiaan lebih memberikan kepada pihak lain daripada suku Simalungun yang memiliki lembaga adat dan budaya yang berkompeten,” ungkapnya.
Disebutkan, akibat kebijakan Pemko Siantar itu, telah menimbulkan dan menciptakan kemarahan yang besar dan kecewa, serta gejolak batin, keresahan di dalam diri suku Simalungun yang dikhawatirkan akan berdampak pada hal-hal kurang baik.
“Maka itu kami meminta DPRD Siantar segera mengambil langkah dengan bersidang menyikapi besarnya tuntutan dan amarah suku Simalungun saat ini dengan mempertimbangkan Walikota Siantar telah melanggar sumpah jabatan dengan menciptakan keresahan pada suku Simalungun dan mentukan sikap sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” tukas Lisman.
Ceritanya, pada Januari hingga Februari 2018 lalu, IKEIS Siantar sudah layangkan permohonan audensi terhadap walikota. Awalnya dikabari akan diterima di ruang kerja walikota. Namun mendadak dibatalkan sepihak.
Dilakukan jadwal ulang, disebut IKEIS akan diterima audensi di rumah dinas. Setelah disepekati waktu dan jam, pengurus pun berangkat. Namun kemudian pertemuan tersebut dibatalkan lewat ajudan secara sepihak tanpa memberitahu alasannya.
“Dari kejadian itu saja walikota sudah melecehkan IKEIS sebagai lembaga orang Simalungun,” katanya.
Lebih parah, tutur Lisman, sebagai lembaga resmi yang terdaftar di Kesbang Linmas, Pemko terutama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan tak pernah melibatkan IKEIS dalam setiap kegiatan bernafas kebudayaan.
Padahal menurut dia, IKEIS merupakan lembaga berisi orang-orang Simalungun yang memahami adat dan budaya Simalungun
Merespons tuntutan IKEIS, anggota Komisi 1 Tongam Pangaribuan mengatakan pihaknya menerima aspirasi tersebut. Sebelum kemudian nanti disampaikan ke Ketua DPRD.
Untuk desakan bersidang sebagaimana desakan IKEIS, dia menyebut akan dilakukan sepanjang Pimpinan DPRD menyetujui hal itu dilakukan.
“Kita tunggu lah ketua. Yang pasti kita tampung dulu 7 tuntutan IKEIS ini. Soal bersidang akan disampaikan ke pimpinan,” terang Tongam Pangaribuan. (syaf/int)