Amelia Yani, putri almarhum Jenderal Ahmad Yani, merupakan saksi mata kekejaman PKI dalam Gerakan 30 September 1965.
Amelia Yani |
“Lima puluh dua tahun sudah peristiwa itu terjadi. Tapi saya dan keluarga besar tetap belum melupakan kejadian tersebut,” ucap Amelia Yani mengawali pembicaraannya dengan INDOPOS (Jawa Pos Group) melalui telepon seluler, beberapa hari lalu.
Meski raganya tengah menjalankan tugas sebagai Duta Besar (Dubes) RI di Bosnia Herzegovina, Amelia mengaku jiwanya tetap menyatu dengan perasaan rakyat Indonesia dalam memperingati sejarah kelam G30S/PKI.
Hal itu ditunjukkannya dengan mengirimkan sejumlah buku tentang sejarah peristiwa G30S/PKI di antaranya ‘Profil Seorang Prajurit TNI’ dan ‘Rekoleksi Ingatan Peristiwa 1965-1966’.
“Saya sudah menulis sejumlah buku terkait PKI. Dan yang terakhir adalah ‘Rekoleksi Peristiswa 1965-1966’. Buku kecil itu terus saya kirim ke Indonesia, khususnya ke Museum Sasmitaloka. Dengan tujuan agar masyarakat banyak tahu tentang keterlibatan PKI pada 1965,” ujarnya.
Selain itu, Amelia pun tak lupa terus mengamati perkembangan berita dan peristiwa yang dikaitkan dengan PKI di tanah air.
Salah satu yang membuat dia tersita pikirannya adalah kerusuhan di depan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, yang dipicu sekelompok massa yang menganggap kegiatan di sana membangkitkan kembali komunisme.
“Saya tidak bisa tidur dan terus mengamati pemberitaan tersebut dari televisi,” ujarnya yang mengaku tak mau berkomentar lebih jauh soal bentrokan tersebut.
Berita lain yang juga menjadi perhatian Amelia, adanya seruan nonton bareng (nobar) film G30S/PKI oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan sejumlah elemen masyarakat.
“Saya bersyukur bahwa film itu diputar kembali, meski hanya lewat nobar. Dan saya berterima kasih atas pernyataan Panglima TNI yang sangat tegas atas peristiswa G30S/PKI dan pentingnya masyarakat mengenang kembali sejarah tersebut,” tuturnya.
Amelia menyatakan, selama beberapa tahun tak ada pemutaran film G30S/PKI. Ini menunjukkan upaya pengaburan ingatan atas adanya sejarah kelam yang dialami negeri ini.
“Sekarang Pahlawan Revolusi bangkit kembali bersama generasi muda Indonesia. Ini yang membuat saya terharu dan menangis karena akhirnya kaum muda Indonesia menyadari betapa pentingnya sejarah. Dan jangan ditutup-tutupi lagi,” kata Amelia dengan nada suara terbata-bata.
Amelia Yani dan Jendral Ahmad Yani |
Amelia pun mengaku masih sulit menerima kenyataan bahwa dia menjadi salah satu korban sejarah kebiadapan PKI.
“Pada 1984, ketika film itu diputar di bioskop, saya menangis dan bertanya-tanya terus kenapa kami ada di sana? Kenapa tidak di rumah yang Taman Surapati? Kenapa kami harus ada di Jalan Lembang, saat peristiwa itu terjadi?” ucapnya.
Bahkan saat menyaksikan pemutaran perdana film G30S/PKI, Amelia harus menonton berulangkali demi meyakinkan bahwa bukan keluarganya yang harus menjadi korban.
“Saat itu, saya sampai menonton empat kali hanya untuk mengatakan yang di film itu bukan bapak (Jenderal Ahmad Yani, Red). Bukan, dan bukan,” akunya sedih.
Maklum, saat peristiwa itu terjadi, Amelia yang masih berusia 15 tahun harus menyaksikan secara langsung di depan mata bahwa ayahnya menjadi korban kekejaman PKI dengan diberondong peluru pasukan Tjakrabiwara.
Kala itu, dalam keheningan pagi sekitar pukul 04.00 WIB, mereka memasuki rumah Ahmad Yani dan menculiknya.
“Ahmad Yani diculik, hanya pakai piyama. Beliau sempat melawan dan meninju salah satu prajurit Tjakrabirawa. Ahmad Yani langsung berbalik cepat, keluar lewat pintu, lalu ditembus tujuh peluru beruntun,” kata Amelia mengisahkan.
Melihat ayahnya diberondong peluru, semua anggota keluarga langsung menjerit histeris. Ahmad Yani diseret begitu saja dengan darah yang mengalir dari luka-luka akibat tembakan kemudian dilempar ke dalam truk.
“Sampai di pintu belakang kami diadang. Kami dihardik untuk masuk ke rumah atau ditembak jika melawan. Senapan sudah dikokang. Yang jaga di rumah Garnisun hanya melongo melihat kejadian itu,” ungkapnya.
Amelia menuturkan, pedih tentu rasanya melihat kepala keluarga mereka diperlakukan seperti itu.
Padahal, Ahmad Yani bukan perwira sembarangan. Dia adalah Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangab) atau sekarang Panglima TNI ketika itu.
Tidak hanya Ahmad Yani, lima perwira tinggi serta satu perwira muda TNI AD juga jadi korban penculikan.
Sama dengan Ahmad Yani, nyawa mereka juga melayang di tangan pasukan pengawal presiden. Jasad mereka kemudian dibuang ke sumur sempit sedalam 12 meter di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.
“Saat itu, kami hanya bisa mendengarkan dari radio, dimana orang PKI yang saat itu merebut RRI dengan tegas menyatakan bahwa Ahmad Yani dan lainnya yang tergabung dalam Dewan Jenderal adalah pengkhianat negara. Prajurit yang membunuh tentara dinaikkan pangkatnya satu tingkat ketika itu. Sementara radio Australia mengatakan ayah kami belum ditemukan,” kata Amelia.
Barulah pada Senin, 4 Oktober 1965, sekitar pukul 14.00 WIB, jasad para perwira TNI itu diangkat dari sumur. Jasad-jasad yang sudah membusuk itu diangkat oleh prajurit Korps Komando (KKO) atau sekarang Marinir Angkatan Laut.
Amelia mengisahkan, pada tanggal tersebut, Ajudan Ahmad Yani, Mayor CPM Subardi kemudian ke wilayah Pasar Minggu untuk menyampaikan tentang apa yang terjadi di Lubang Buaya siang itu ke Yayuk Ruliah Sutodiwirjo, istri mendiang Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani.
Menurut Amelia, Subardi atau yang akrab disapa oleh keluarga Ahmad Yani dengan panggilan Om Bardi langsung menuju kamar Yayuk.
Putri ketiga Ahmad Yani ini pun menerangkan bahwa pembicaraan di dalam kamar ibunya cukup lama, sehingga membuat para anak-anak menunggu di luar dengan penuh tanda tanya.
Rupa-rupanya, ucap Amelia, Om Bardi sedang menyampaikan kepada ibundanya apa yang sesungguhnya terjadi.
Tak lama kemudian semua anak-anak Ahmad Yani dipanggil masuk ke dalam kamar. Dia melihat Om Bardi menundukkan kepala dan menangis.
“Saat itu aku telah menduga firasat jelek yang luar biasa, dan ibu dengan penuh ketabahan berkata pada kami, ‘bapakmu betul-betul sudah tidak ada’. Sekarang hanya ada ibu dengan kamu semua. Kamu semua harus mengikhlaskan bapak. Kamu harus dapat menerima kenyataan ini,” ucap Amelia menirukan ucapan ibundanya.
Mendengar ucapanya ibundanya, Amelia beserta kakak dan adik-adiknya sontak menangis atas kepergian bapaknya.
“Akhirnya ibu pula yang menenangkan kami untuk tidak menangis terus. Ibu lalu mengajak kami semua berdoa untuk bapak,” tuturnya.
Kemudian, lanjut Amelia, ibundanya berkata pada Om Bardi, bahwa ibu dan anak-anak ingin melihad jasad Ahmad Yani.
“Tapi Om Bardi mengatakan sebaiknya tidak usah saja, Tapi ibu tetap memaksa untuk melihat jasad bapak. Dijawab Om Bardi bahwa semua jasad sudah dibawa ke Rumah Sakit Angkatan Darat (RSPAD) untuk dibersihkan. Om Bardi mengatakan ibu dan kami akan lebih bangga melihat foto bapak,” ujarnya mengisahkan.
Atas peristiwa memilukan itu, kalau ada orang beranggapan bahwa di dalam peristiwa tersebut tidak ada penyiksaan jelas salah.
Amelia menegaskan, delapan orang anak almarhum Ahmad Yani dengan jelas melihat adanya penembakan dan penyiksaan.
“Di rumah sudah dianiaya, ayah saya ditembak di depan anak-anaknya, kemudian diseret di aspal dan dilempar ke atas truk. Ayah saya juga sebelumnya dibentak-bentak, apa itu bukan siksaan?” cetusnya kesal.
Amelia juga menceritakan bagaimana anak-anak para Pahlawan Revolusi itu menyimpan trauma, yang hingga kini masih terbayang.
Belum lagi saat mereka diminta mengenali jasad ayah mereka yang dikubur di dalam lubang sumur sedalam 12 meter.
“Bagaimana kemudian kami disuruh mengenali jasad para pahlawan itu yang kondisinya sudah rusak. Anaknya Pak Prapto (Letjen TNI Anumerta Suprapto, Red) yang melihat jasad ayahnya hancur di rumah sakit dan diminta mengenali dengan melihat sarung yang dipakai. Ayah saya juga dikenali dari piyama biru yang dikenakan. M.T. Haryono juga ditembak di depan istri dan putra-putrinya,” ucap Amelia.
Saat itu, dengan melihat kondisi jasad ayah-ayah mereka yang tewas ditembak dan kemudian dikubur di dalam sumur sedalam 12 meter saja sudah merupakan suatu siksaan.
Sehingga kenangan pahit peristiwa di malam kelam itu menimbulkan bekas mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan, termasuk Amelia.
Bahkan Amelia mengakui tak semua anggota keluarga Ahmad Yani menerima kekejaman tersebut sampai sekarang.
“Keluarga saya ada yang tidak bisa menerima karena kekejaman sangat tergambar dan terlihat,” kata Amelia.
Jadi, lanjut dia, bohong saja jika ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa tidak ada penyiksaan yang dilakukan oleh PKI terhadap para Pahlawan Revolusi.
Selain itu, Amelia mengaku memiliki sejumlah dokumen yang membenarkan adanya penyiksaan, bahwa hasil forensik dokter RSPAD serta dokumen laporan Letkol Subardi dan dokumen penemuan jenazah di sumur Lubang Buaya. “Itu tidak bisa dimaafkan. (Peristiwa, Red) itulah sebuah kekejaman,” tegasnya dengan nada tinggi.
Hingga tepat 5 Oktober 1965, Amelia beserta keluarga besar dan keluarga dari para Pahlawan Revolusi melakukan prosesi pemakaman.
“Hari itu udara Jakarta mendung disertai hujan rintik, tangis dimana-mana, amarah memuncak, suasana duka, haru yang dalam, sesudah pidato Pak Nasution, perlahan Panser yang membawa jenazah para pahlawan bergerak perlahan, ribuan bahkan ratusan ribu masyarakat hadir, sepanjang jalan berdoa,” terangnya.
Dirinya mengaku belum pernah melihat ataupun merasakan kesedihan seperti saat itu, masyarakat turut larut dalam duka, sepanjang jalan mungkin tiga sampai empat jam iring-iringan Panser serta pasukan baru sampai TMP Kalibata.
Di sana pun ribuan masyarakat menunggu kedatangan jenazah para Pahlawan Revolusi. Amelia juga ingat kata-kata ayahnya, yang seolah menjadi firasat.
“Benar kata bapak siang itu pada 30 September 1965, pada 5 Oktober semua ikut bapak ke Istana, bolos semua. Benar kami bolos mengantar bapak ke istana peristirahatan terakhir TMP Kalibata. Selamat jalan bapak.
Harummu akan terus mewarisi kami dan seluruh bangsa yang menghargai pengabdian-mu yang utuh dari pengorbanan seorang prajurit yang cinta Tanah Air,” kisahnya, dengan suara terisak. (dil/syaf/jpnn/int)