TANJUNGBALAI-Ratusan nelayan di Kota Tanjungbalai terancam menganggungur. Pasalnya pengerajin kapal di Tanjungbalai kesulitan bahan baku untuk membuat kapal kayu. Akibatnya, saat ini banyak pengerajin kapal yang gulung tikat/bangkrut.
Sangkot (46) pengelola industri kapal kayu di Tanjungbalai mengatakan, saat ini di Tanjungbalai hanya ada dua pabrik pembuatan kapal untuk nelayan tradisional. Sangkot menambahkan, saat ini industri pembuatan kapal terkendala dengan pasokan bahan pokok yakni kayu untuk membuat kapal.
Untuk mengatasi masalah ini, mereka mempergunakan kayu dari kapal bekas. Kondisi ini membuatnya terpaksa mengurangi jumlah karyawan. Sementara beberapa pabrik pembuatan kapal banyak yang tutup.
Padahal menurutnya, selama bekerja membuat kapal para buruh mampu memeroleh gaji yang lumayan yakni berkisar Rp50.000 hingga Rp100.000 per hari.
menurut Sangkot, kelangkaan bahan baku pembuatan kapal ini terjadi akibat adanya Undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tentang pengambilan kayu hutan.
“Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan mengakibatkan kegiatan illegal logging terhenti. Begitu juga dengan pengambilan kayu hutan. Otomatis kami jadi kesulitan mendapatkan bahan baku kayu untuk pembuatan kapal,” katanya.
Terpisah Hidayat pengerajin kayu di Kelurahan Beting Kuala Kapias Tanjungbalai mengatakan, sekitar 20 tahun lalu mereka masih mudah mendapatkan kayu seperti kayu damuli. Namun sejak dikeluarkannya UU nomor 41 tahun 1999, sekarang mereka sulit untuk mendapatkan kayu.
Keterangan yang diperoleh di lapangan dari warga yang mengaku bernama M Arsyad, aktifitas dari sejumlah pemilik galangan kapal di kawasan muara Sungai Asahan persisnya di Pulau Tuan Tahir yang sedang membuat satu unit kapal kayu berbobot ratusan grosstone (GT) diduga menggunakan kayu illegal dari hutan. Anehnya, galangan kapal yang tidak dilengkapi dengan papan nama usaha tersebut dapat menyediakan kebutuhan akan kayu-kayu kualitas terbaik untuk membuat kapal, pada saat pemerintah sudah melarang penebangan kayu hutan.
“Kalau melihat dari bentuk kapalnya, kapal ini dibuat untuk menjadi kapal penangkap ikan jenis fisher yang memiliki alat pendingin sendiri. Untuk membuat kapal sebesar ini, dibutuhkan kayu-kayu yang berkualitas terbaik dan saat ini, paling dekat hanya bisa didapatkan dari kawasan Riau seperti kayu kompas sepanjang 25 meter untuk dijadikan lunas kapal,” ujar M Arsyad.
Menurut M Arsyad yang juga pernah bekerja di salah satu galangan kapal di Sei Kepayang ini, pada umumnya galangan-galangan kapal yang ada di pulau-pulau di tengah muara Sungai Asahan itu tidak dilengkapi dengan dokumen yang sah tentang usaha galangan kapal. Oleh karena itu, diyakini para pemilik galangan kapal tersebut mendapatkan kayu-kayu terbaik untuk membuat kapal tersebut secara ilegal dari para perambah hutan yang juga dilakukan secara liar.
Hal itu juga dibenarkan oleh kalangan pekerja di galangan kapal yang ada di pulau-pulau di muara Sungai Asahan saat ditemui METRO. Katanya, bahan-bahan utama untuk membuat kapal berbobot 50 GT (grosstone) ke atas, pemilik galangan kapal harus mendatangkannya dari luar, dengan biaya yang cukup besar. Karena bahannya tidak ditemukan lagi di hutan-hutan yang ada di Sumatera Utara ini. Akan tetapi untuk bahan-bahan lain seperti dinding atas, masih bisa dengan memakai bahan-bahan yang dibongkar dari kapal bekas yang tak terpakai lagi.
Nelayan di Kelurahan Pantai Burung Kecamatan Tanjungbalai Selatan mengharapkan bantuan dari Pemko Tanjungbalai. Karena penghasilan mereka selama ini mengalami penurunan. Sehingga penghasilan mereka tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga dan biaya sekolah anak mereka.
Dayat (40) warga Gang Turang Kelurahan Pantai Burung mengatakan, hasil tangkapan ikan yang ia peroleh tak mencukupi untuk membiayai hidup keluarganya.
Menurut Dayat, tangkapan ikan yang diperolehnya hanya cukup untuk membeli beras. Sedangkan untuk menambah biaya kebutuhan hidup keluarga, istrinya terpaksa kerja serabutan.
Dayat sangat mengharapkan adanya uluran tangan dari Pemko Tanjungbalai agar bisa membantu perekonomian keluarganya. Dayat menambahkan, untuk mendapat tambahan penghasilan dari menangkap ikan, ia terpaksa memasang bolat (jaring, red) yang dibentangkan di sepanjang Sungai Simardan dan Sungai Kapias saat air sedang naik.
Setelah air surut, Dayat lalu mengambil bolat yang dipasangnya untuk melihat berapa banyak ikan yang nyangkut di bolat. Setelah itu ikan ia bawa ke pasar untuk dijual. (syaf)