JAKARTA-Terduga teroris yang ditangkap karena menyerang Markas Polda Sumatera Utara juga melakukan survei ke sejumlah markas Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Rikwanto mengatakan, ada tiga dari empat terduga teroris yang ditangkap hidup berperan melakukan survei.
“Mereka semua yang tertangkap ini berperan sebagai tim survei dan dalam melakukan surveinya tidak hanya ke Polda Sumatera Utara. Mereka juga melakukan survei di tempat-tempat lain,” kata Rikwanto dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (30/6).
Terduga teroris Syawaluddin Pakpahan (43) disebut menyuruh tersangka Firmansyah Putra Yudi (42) untuk melakukan survei di Markas Komando Satuan Brimob Polda Sumut dan markas Komando Daerah Militer (Kodam) Bukit Barisan.
Di Kodam Bukit Barisan, Firmansyah disebut menargetkan anggota pos penjagaan sama seperti di Markas Sat Brimob Polda Sumut.
Dia juga disebut melakukan survei di Kompleks Asia Megamas Medan dengan target WNI keturunan Tionghoa.
Syawaluddin juga mempelajari medan di Mapolsek Tanjung Morawa, Markas Bataliyon Zeni Tempur (Yonzipur), bersama tersangka Hendri Pratama alias Boboy (20).
Boboy ikut memantau kondisi di Yon Zipur dengan maksud membunuh dan merampas senjata api anggota pos yang berjaga.
Adapun Boboy bersama Syawaluddin berperan mempelajari Mapolda Sumut sepekan sebelum Syawaluddin dan Ardial Ramadhana (34) menyerang pos jaga markas polda.
“Khusus untuk penjagaan Markas Polda Sumatera Utara, mereka telah survei selama 1 minggu dan mereka mendapatkan kelemahan di pintu tengah,” ujar Rikwanto.
Rikwanto mengatakan, berkaitan dengan survei, ini merupakan pengakuan dari tiga pelaku yang ditangkap hidup.
Polri menilai perlu melakukan rekonstruksi untuk memastikan kebenaran pengakuan para terduga teroris ini.
“Artinya kita gelarkan ke lapangan dari mana, bagaimana, kapan (survei) itu dilakukan, (apakah) pagi, siang, sore dan lain lain untuk dapat memastikan dari pengakuan mereka,” ujar Rikwanto.
Salah satu terduga teroris penyerang Mapolda Sumatera Utara Syawaluddin Pakpahan (43) pernah meminjam uang ke sebuah bank.
Dia meminjam uang untuk digunakan sebagai ongkos berangkat ke Suriah untuk bertempur di negeri itu.
Hal ini disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Rikwanto dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (30/6).
Rikwanto mengatakan, Syawaluddin menjadikan istrinya sebagai jaminan untuk meminjam uang tersebut.
“Dia pinjam uang ke bank sebanyak Rp 20 juta untuk pergi ke Suriah bergabung jadi pejuang,” kata Rikwanto.
Syawaluddin, lanjut Rikwanto, pergi ke Suriah pada 2013. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Syawaluddin diketahui menjadi radikal sejak 2004, setelah mengunjungi situs-situs radikal di internet.
Sehingga pada 2013, Syawaluddin telah memiliki motivasi kuat melakukan hijrah dan jihad di Suriah.
Selama enam bulan dia berada di negara yang tengah diamuk perang tersebut. Setelah itu, Syawaluddin pulang ke Indonesia.
“Setelah pulang dia menularkan paham radikal kepada kelompoknya yang direkut yakni AR, FP dan HP (Boboy) sehingga melakukan aksi terorisme berupa pembunuhan terhadap anggota Polri,” ujar Rikwanto.
Rikwanto melanjutkan, polisi masih melakukan pendalaman terkait orang-orang yang dekat dan dihubungi Syawaluddin di Suriah.
“Di sana berinteraksi dengan siapa sedang kita dalami. Namun memang dalam sisi ideologi sudah sangat kental warna ISIS-nya dan dia mencoba menjadikan di Indonesia itu daerah operaisnya dengan mencoba menyerang pos penjagaan dan mencari senjata,” ujar Rikwanto.
SP (43), salah satu terduga teroris yang menyerang pos jaga Markas Polda Sumatera Utara, disebut pernah bertempur di Suriah.
“SP sudah terpantau oleh kita dan dia pernah bertempur di Suriah beberapa tahun yang lalu,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto, di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (29/6).
Setyo belum menjelaskan pertempuran seperti apa yang melibatkan SP. Meski begitu, dirinya mengatakan kepolisian akan mengungkap Syawaluddin serta jaringannya.
“Ini yang jadi poin penting untuk kita ungkap sampai ke jaringan-jaringannya,” ujar Setyo.
Soal jumlah mantan kombatan dari Suriah yang kembali ke Indonesia, Setyo belum mau mengungkapkannya. Namun, lanjut Setyo, mereka sudah dipantau Densus 88 dan intelijen. Terkait cara mereka bisa kembali ke Indonesia, Setyo menyatakan para kombatan itu tentu bisa sampai kembali ke Tanah Air melalui jalur resmi.
Tanpa dokumen resmi agak susah untuk kembali ke Indonesia. Tetapi, lanjut Setyo, Polri terkendala melakukan penindakan terhadap mereka yang terbukti bertempur di Suriah itu. Sebab, belum ada aturan hukum yang mengaturnya.
Polri berharap, rancangan undang-undang ke depan dapat mengakomodasinya sehingga upaya preventif dapat dimasukan ke rancangan undang-undang agar dapat melakukan tindakan hukum terhadap mereka yang terbukti pulang bertempur tersebut.
“Yang jadi masalah di sini adalah Polri tidak bisa mengambil tindakan ketika yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana di sini. Kita harapkan dalam rancangan undang-undang nanti itu akan muncul,” ujar Setyo.
Setyo menambahkan, meski melakukan pendataan para kombatan, untuk memprediksi apakah mereka akan beraksi, kapan dan di mana perlu kecermatan dan dukungan intelijen.
“Seperti yang saya sampaikan tadi kapan dan di mana mereka melakukan, ini kan memerlukan kecermatan dan informasi yang lebih banyak lagi dari intelijen,” ujar Setyo.
Polri terus melakukan upaya pencegahan sembari menunggu ada payung hukum untuk menindak kombatan yang pulang ke Tanah Air. Salah satunya dengan strategi preventive strike.
“Begitu kami mendapatkan informasi dan ada alat bukti yang walaupun mungkin minim kami lakukan tindakan, dan kami harapkan itu sesuai aturan yang berlaku, hukum yang mengatur itu, (sehingga) tidak melanggar hukum dan HAM,” ujar Setyo. (kmc/int)