JAKARTA-Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengecam langkah pemerintah yang akan menutup semua media sosial (medsos) seperti Youtube, facebook, twiter, dan instagram. Fadli menilai ancaman ini sama dengan semangat pemerintah membubarkan organisasi kemasyarakatan (ormas) melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017.
“Pemerintah ini sedang menuju kediktatoran gaya baru karena dia melihat medsos ini tidak bisa dibendung,” kata Fadli di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (15/7).
Politikus Partai Gerindra itu menambahkan, pemerintah sepertinya sedang khawatir dengan keberadaan medsos yang mengganggu konsolidasi kekuasaan. Menurutnya, pemikiran semacam itu tak bisa dibenarkan.
“Saya kira harus dilawan,” ujar anak buah Prabowo Subianto di Partai Gerindra itu.
Padahal, kata Fadli, penguasa saat ini dahulu sangat getol berkampanye di medos, termasuk untuk menyebar kampanye hitam dengan memanfaatkan jasa para buzzer. “Nah sekarang ketika tidak bisa dikendalikan mau menghapuskan,” katanya.
Fadli menegaskan, sebenarnya pemerintah bisa saja melakukan penyaringan terhadap konten-konten yang dianggap negatif. Langkah itu bisa dilakukan tanpa harus menutup medsos.
Menurut Fadli, langkah penyaringan bisa dimulai dari pembelian SIM card. “Tapi itu kan pemerintah sendiri yang tidak mau,” katanya.
Selain itu, sambung Fadli, pemerintah pada era dulu memang bisa mengendalikan dan memberedel media-media mainstream. Sedangkan medsos memang tidak bisa dibendung pemerintah.
“Kita ini tidak mungkin melawan teknologi dan kemajuan-kemajuan berkomunikasi yang sudah dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia,” katanya.
Dia menambahkan, medsos bukan hanya sebagai komunikasi interpersonal tapi menjadi bagian kegiatan ekonomi. Menurut dia, ekonomi kreatif, memasarkan produk-produk bisa dilakukan di medsos dengan jejaring yang semakin luar.
“Jadi, kalau ada rencana pemerintah menghapus medsos saya kira harus dilawan,” tegas Fadli.
Menurut Fadli, sebagai sebuah instrumen teknologi medsos itu adalah jadi bagian dari kebutuhan primer masyarakat. “Jadi tidak bisa hak untuk menggunakan ini dilarang pemerintah,” pungkasnya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Rudiantara untuk mengejar dan menindak tegas penyebaran radikalisme di internet.
“Dewasa ini paling ekstrem penyebarannya adalah dengan teknologi. Karena itu Pak Menkominfo harus mengejar (pelaku penyebaran-) radikalisme di internet, bagaimana kita mengejar bersama-sama ke situ,” kata Wapres di Auditorium Universitas Negeri Padang (UNP), Sumatera Barat, Sabtu (15/7).
Kemkominfo pada Jumat telah meminta Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap 11 domain name system (DNS) milik Telegram yang semula dapat diakses melalui PC karena mengandung konten radikalisme, ekstremisme hingga yang mengarah pada terorisme.
Pernyataan tersebut disampaikan Wapres untuk menanggapi Deklarasi Anti-Radikalisme yang dilakukan sejumlah rektor perguruan tinggi negeri dan swasta dari Sumatera Barat, Jambi dan Riau di UNP.
Menurut Wapres, radikalisme sengaja disebarkan kepada anak-anak muda dengan “mencuci otak” mereka bahwa ada jalan pintas mencapai surga dengan jihad sehingga paham seperti itu tidak bisa diperangi dengan kekerasan tapi dengan memberikan pencerahan melalui pendidikan yang baik.
“Radikalisme tidak akan selesai dengan membaca deklarasi bersama, radikalisme baru selesai dengan memberikan pendidikan yang baik, memberikan contoh yang baik, memberikan ajaran agama yang benar. Karena itulah universitas itu penting untuk menetralkan dan meredamkan cara berpikir generasi muda kita,” kata dia.
Terkait teknologi yang disalahgunakan untuk penyebaran radikalisme dan bahkan mengarah pada terorisme, Wapres mengimbau generasi muda di Indonesia, khususnya mahasiswa UNP, untuk belajar dengan giat dan semangat karena itu juga bagian dari jihad.
“Kalau orang semangat tanpa ilmu, dia meledak-ledak, berilmu tanpa semangat dia bergerak tanpa dinamika. Oleh karena itu tetaplah memajukan pendidikan karena itu juga bagian dari jihad,” kata dia.
Wapres melakukan kunjungan kerja ke Padang, Sumatera Barat, dengan agenda utama meresmikan 11 gedung baru UNP dan meresmikan Masjid Baiturrahmah Yayasan Universitas Baiturrahmah.
Turut mendampingi Wapres, yakni Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur.
Jokowi Sebut Ribuan Konten Telegram Menganggu Keamanan Negara
MESKI diwarnai prokontra, pemerintah menegaskan tidak sembarang dalam mengambil keputusan untuk memblokir layanan telegram.
Pasalnya, mereka sudah memantau media sosial yang berciri percakapan pribadi itu sejak lama.
Pemerintah kan sudah mengamati lama, mengamati lama, dan kita kan
ini mementingkan keamanan, keamanan negara, keamanan masyarakat, oleh
sebab itu keputusan itu dilakukan,” tegas Presiden Joko Widodo saat
menghadiri acara peresmian Akademi Bela Negara (ABN) Partai Nasional
Demokrat, Pancoran, Jakarta, Minggu (16/7/2017) seperti dilansir
JawaPos.com (grup pojoksumut).
Dari hasil pantauan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan
Informasi, kata Jokowi, tidak terhitung satuan Domain Name System (DNS)
Telegram yang bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham
kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan,
disturbing images, dan lain-lain yang tentunya bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
“Tidak hanya satu, dua, tiga, empat, lima, enam, ribuan yang ada di
situ yang dikategorikan akan menganggu keamanan negara ini, menganggu
keamanan masyarakat,” tutur mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Soal pihak aplikasi Telegram yang mengaku sudah memblokir akun-akun
teroris, Jokowi mengatakan kenyataannya masih ada ribuan akun yang lolos
dan digunakan para teroris tersebut.
“Baik digunakan bangun komunikasi antar negara untuk hal-hal yang
berkaitan dengan terorisme,” sambung ayah Kaesang Pangarep itu.
Jokowi lebih lanjut mengatakan bahwa pemerintah akan tetap memantau
aplikasi lainnya yang diduga digunakan sebagai alat menyebarkan paham
radikal dan terorisme. “Dan kita lihat aplikasi-palikasi yang lain yang
bisa digunakan,” imbuhnya.
Soal apakah perlu kerja sama aplikasi media sosial dengan pemerintah untuk basmi akun-akun terorisme, katanya memang diperlukan.
“Ya mestinya, apa, kerja sama seperti itu saya kira Kemenkominfo
sudah menyampaikan, mungkin nggak sekali-dua kali,” pungkas Jokowi. (syaf/int)