Pabrik Es Siantar
PADA tulisan sebelumnya saya menuliskan, karena tingginya minat masyarakat
saat itu, pihak perusahaan NV Ijs Fabriek Siantar pun membuat trobosan baru
dengan membuat delapan jenis minuman sebagai pengembangan dari soda cap Badak.
Ternyata hasilnya cukup diminati masyarakat.
Dari delapan jenis minuman terobosan baru yang diciptakan setelah soda cap
badak, jenis minuman yang paling disukai masyarakat saat itu adalah jenis Sarsaparilla yang mulai diproduksi
tahun 1946, baru American Ice Cream Soda yang diproduksi tahun 1950. Kemudian
Soda Water yang diproduksi tahun 1954.
Ketika pendudukan Jepang, pabrik ini masih bertahan. Penjajah Jepang menempatkan
seorang wakilnya saat mengelola perusahaan ini. Pabrik tetap beroperasi seusai
kemerdekaan. Akan tetapi, situasi kemudian berubah ketika Heinrich Surbeck
dibunuh oleh laskar rakyat yang memberontak melawan Belanda seusai Proklamasi
Kemerdekaan. Dua anak Surbeck sempat diungsikan ke Eropa sehingga mereka
selamat.
Meski tanpa kehadiran keluarga Surbeck, NV Ijs Fabriek Siantar tetap beroperasi.
Tanjung dan kawan-kawannya tetap mengelola usaha itu hingga kemudian salah satu
anak Surbeck, yaitu Lydia Rosa, kembali ke Pematangsiantar pada tahun 1947. Di kota itu Rosa menikah
dengan seorang pria Belanda bernama Otto. Otto kemudian mengelola usaha ini
hingga tahun 1959.
Gonjang-ganjing di Tanah Air yang disertai isu nasionalisasi aset pada tahun
itu menjadikan Otto menyerahkan pengelolaan NV Ijs Fabriek Siantar kepada
Tanjung. Sampai tahun 1963, Otto dan Rosa masih berada di Indonesia hingga kemudian mereka keluar dari Indonesia
menuju Swiss. Sejak saat itu Tanjung mengelola sepenuhnya usaha ini.
“Saat mengelola usaha ini saya berkenalan dengan Julianus Hutabarat. Ia juga
seorang pengusaha. Saya sempat menceritakan kemungkinan pembelian NV Ijs
Fabriek Siantar,” tutur Tanjung. Hutabarat yang bersama saudara-saudaranya
telah memiliki usaha dengan nama Barat Trading Company ternyata berminat.
Tanjung kemudian menyampaikan hal itu kepada Otto.
Pada tahun 1969 Hutabarat akhirnya membeli perusahaan itu. Ia membeli dengan
cara mencicil hingga pada tahun 1971 perusahaan itu benar-benar menjadi milik
Hutabarat sepenuhnya. Perusahaan ini berubah nama menjadi PT Pabrik Es Siantar.
Sampai tahun 1987 Tanjung masih dipercaya mengelola perusahaan ini.
“Dulu produksi Badak hingga 35.000 kerat per bulan. Penjualan tidak hanya di
Sumatera Utara, tetapi juga sampai ke Jawa,” kata Tanjung yang dibenarkan oleh
Hendry Hutabarat dan Ronald Hutabarat, anak Julianus Hutabarat.
Ronald yang melanjutkan mengelola perusahaan itu menceritakan, nama Badak
memang telah melekat di hati masyarakat Pematangsiantar dan Medan. Mereka mendapatkan konsumen fanatik.
Ungkapan ini tidaklah sekadar ucapan jempol.
“Orang Medan
dan Pematangsiantar yang telah berada di luar kota pun masih mengingat Badak. Setahu saya
sampai sekarang masih ada rumah makan yang menjual Badak di Jakarta, tepatnya
di Muara Karang,” tuturnya.
Ia mengenang, pada masa lalu PT Pabrik Es Siantar sangatlah masyhur. Mereka
juga memasok listrik bagi Kota Pematang Siantar. Bahkan, untuk menghormati
pengelola perusahaan ini, bioskop di Pematangsiantar menyediakan tujuh tempat
duduk khusus bagi mereka. Tempat duduk dengan warga merah dan tulisan khusus
untuk PT Pabrik Es Siantar tertera jelas di tempat itu. (bersambung)