Seperti saya cerita sebelumnya, perjalanan Raja Aceh mengejar musuhnya merupakan cikal bakal nama Kabupaten Asahan. Sesuai keterangan tiga ahli sejarah/budayawan Asahan Zasnis Sulung, Raja Kamal dan Yus Chan, utusan Raja Aceh meminta agar Si Bayak Lingga membawa rajanya Simargolang menemui Raja Aceh.
Tapi celakanya Raja Simargolang merasa enggan dan takut menemui Raja Aceh yang perkasa itu, mengingat ia tidak bisa berhasa Melayu atau Aceh dan bahasa yang dikuasainya hanya bahasa Batak Toba. Demikian juga dengan para keluarga raja dan putera mahkota Raja Simargolang, tak satupun yang sudi menemui Raja Aceh, juga karena merasa takut.
Setelah melalui rapat kerajaan di sopo godang, maka diputuskanlah orang yang pantas mewakili Raja Simargolang menemui Raja Aceh tersebut hanyalah hulubalang Sibayak Lingga, terlebih karena ia bisa berbahasa Aceh, Melayu, Karo dan Batak. Maka ketika itu juga Sibayak Lingga dihiasi dengan pakaian adat kebesaran kerajaan Simargolang, sehingga penampilan sangat gagah berwibawa. Dengan diiringi beberapa pengawal, lalu mereka berangkat ke hilir menemui Raja Aceh dengan mempergunakan kapal kerajaan yang dihiasi dengan megah.
Ketika sampai ke kapal kerajaan Aceh, maka Sibayak Lingga langsung dibawa para hulubalang menghadap Sultan Alauddin Riayat Syah. Dan Sultan Aceh itu telah menyambut Sibayak Lingga dengan sukacitanya, karena ketika itu Sibayak Lingga telah membawa barang-barang persembahan kiriman Raja Simargolang, berupa beberapa kain ulos, duplikat tungkat tunggul panaluan dan pedang pusaka.
Ketika itu raja Aceh bertanya kepada Sibayak Lingga, apa nama negeri tempatnya tinggal ini. Ketika itu Sibyak Lingga menjawab, bahwa nama negeri ini adalah “Pardembanan” (dialek Batak=Tempat makan sirih).
Tapi raja Aceh meminta Sibayak Lingga supaya menabalkan negeri ini dengan nama “Asahan”.
Karena ditemukannya sejenis rumput yang bisa mengasah di tempat ini dan supaya raja Aceh itu bisa mengingat keberadaan negeri ini. Jadi saat Raja Aceh menabalkan nama “Asahan” inilah sebenarnya yang harus diperingati oleh Pemerintah Kabupaten Asahan. Sebab saat itulah hari lahir pertama nama Asahan itu.
Peristiwa itu diprediksi terjadi tahun 1540 M, atau setelah Raja Aceh menaklukkan kerajaan Melayu di Deli Tua.
“Untuk mengetahui tanggal dan bulannya, sebaiknya dibentuk sebuah tim kebudayaan untuk melakukan penelitian ke Nangroe Aceh Darussalam (NAD), atau meminta bantuan para pakar sejarah Melayu dan Aceh, di saat kapan kira-kira raja Aceh Sultan Alauddin Riayat Syah melakukan penyerangan ke Johor setelah melakukan peperangan di Deli Tua,” kata Zasnis Sulungs.
Saat itu raja Aceh bertanya, kenapa masyarakat tidak ada yang membangun perkampungan di hilir sungai yang subur dan indah ini. Lalu, Sibayak Lingga menjawab, karena raja Simargolang dan rakyatnya semua adalah orang gunung, yang hanya bisa bekerja sebagai petani di sawah atau ladang, berburu dan mencari damar dan rotan di hutan. Sedang untuk bekerja dibagian pantai atau menjadi nelayan mereka belum punya pengalaman.
Makanya Raja Aceh meminta Sibayak Lingga supaya membangun kampung baru di hilir sungai yang juga telah ditabalkan Sultan Alauddin Riayat Syah dengan nama Asahan itu, supaya memeroleh kemakmuran dan apabila Raja Aceh itu melawat ke negeri yang indah ini mudah menemuinya. Setelah memberikan separangkat pakaian kerajaan Aceh berikut sebuah meriam locok yang kecil, dan sebilah rencong berhulu gading, maka raja Aceh mengucapkan kata perpisahan. Dan setelah bersusun sembah Sibayak Lingga pun turun dari kapal kerajaan Aceh itu dan kembali ke istana Simargolang.
Sedangkan raja Aceh dengan armada lautnya yang besar itu telah meninggalkan Sungai Asahan menuju negeri Johor di semenanjung Malaya (sekarang Malaysia) dan telah melakukan peperangan hebat di sana. Tempat pertemuan Raja Aceh dengan Sibayak Lingga tersebut, kemudian hari dinamakan kampung Persembahan, disebabkan Sibayak Lingga pernah menyampaikan persembahan kepada Raja Aceh di tempat ini.
Tak lama kemudian Sibayak Lingga pun memohon izin kepada Raja Simargolang untuk menunaikan perintah raja Aceh, membangun perkampungan baru di hilir Sungai Asahan itu, yang kemudian kampung itu dinamakan kampung Tualang, sekarang berada dalam areal perkebunan PT Padasa Teluk Dalam.
Kenapa dinamakan kampong Tualang, karena di tempat ini ditemukan sebatang kayu Tualang (kayu raja) yang sangat besar, dan pada saat ini telah tumbang dan yang tertinggal sekarang ini hanya tunggulnya sepanjang sekitar 4 meter, yang menurut masyarakat di tempat itu terbilang angker. Karena beberapa orang pekerja perkebunan dimasa lalu sudah pernah hilang raib tak berkesan di tempat ini. (bersambung)