Pada tulisan terdahulu, disebutkan bahwa putra Raja Pagaruyung yaitu Batara Gorga Pinayungan dan anak tirinya yang bernama Puteri Longgogeni diusir dari kerajaan. Namun adik dari Batara Gorga Pinayungan yakni Batara Guru Payung mengikuti keduanya.
Oleh: Syafruddin Yusuf, Kisaran
Menurut almarhum Zasnis Sulung, almarhum Raja Kamal dan Yus Chan, kedua putra Raja Pagaruyung dan putri tirinya memutuskan untuk berangkat ke Negeri Aceh, karena menurut kabar yang mereka dengar bahwa negeri tersebut adalah negeri yang sangat makmur. Tanpa menunggu waktu lama mereka pun berangkat menuju Utara dan sampai di suatu daerah yang bernama Mandailing dan menetap sementara ditempat tersebut. Tanpa disangka penduduk Mandailing tersebut menyambut mereka dengan suka cita dan mempersilahkan kepada mereka untuk tinggal sementara di sana.
Tidak berapa lama mereka menetap disana, penduduk Mandailing mengetahui bahwa mereka bertiga adalah keturunan raja. Karena daerah Mandailing tersebut belum memiliki raja, maka bermufakatlah para penduduk untuk mengangkat salah seorang dari mereka bertiga untuk menjadi raja di daerah Mandailing tersebut.
Pilihan mereka jatuh kepada Batara Guru Payung (Adik dari Batara Gorga Pinayungan). Karena Batara Guru payung menyetujuinya maka dikawinkanlah dia dengan salah seorang Puteri Mandailing dan dinobatkan menjadi Raja Mandailing. Dari sinilah asal raja-raja Mandailing dan keturunannya.
Beberapa hari setelah pengangkatan tersebut Batara Gorga Pinayungan (Batara Sinomba) dan Puteri Longgogeni melanjutkan rencana perjalanan mereka untuk ke negeri Aceh. Ditengah perjalanan sampailah mereka ditepi sungai Barumun. Karena hari telah menjelang senja dan mereka pun sudah lelah maka mereka memutuskan untuk beristirahat ditempat itu.
Keesokan harinya ketika mereka hendak melanjutkan perjalanan, betapa terkejutnya mereka melihat pamandangan di daerah tersebut. Dan tak jauh dari tempat mereka beristirahat ada sebuah pohon pinang yang sangat tinggi dan indah. Dari rasa takjub akan keindahan daerah tersebut mereka pun bermufakat untuk tidak melanjutkan perjalanan ke negeri Aceh akan tetapi menetap didaerah itu yang bernama Pinang Awan.
Di derah Pinang Awan hanya ada sekelompok penduduk yang terdiri dari dua marga yaitu marga Daposong dan Tambak. Kedua marga tersebut dikepalai oleh Patoean Hadjoran. Mendengar ada putera dari kerajaan Pagaruyung yang singgah di daerah mereka, maka Patoean Hadjoran mengadakan penyambutan yang meriah. Dan bersamaan dengan itu pula diangkatlah Batara Sinomba menjadi raja di daerah Pinang Awan dengan gelar Sultan (Soetan) Sinomba.
Batara Sinomba menjadi raja yang sangat arif dan bijaksana. Dengan kearifannya dan kepintarannya semakin lama kampung tersebut semakin besar hingga menjadi sebuah kerajaan yang diberi nama Kerajaan Pinang Awan dengan letak pusat pemerintahannya dikenal denan nama Hotang Momo (Hotang Mumuk).
Batara Sinomba kemudian menikah dengan seorang puteri dari Marga Daposong dan dikaruniai seorang Putera yang diberi nama Mangkuto Alam dan seorang anak puteri. Puteranya menjadi raja di Air Merah dengan gelar Sultan Mangkuto Alam dan mempunyai dua orang istri dan seorang gundik. Istri kedua beliau adalah anak dari Raja Angkola.
Dari kedua orang istrinya tersebut beliau dikaruniai 3 orang putera dan 2 orang puteri yaitu: Tengku Husin, Tengku Abbas, Tengku Karib, Puteri Ungu Selendang Bulan dan Puteri Medja. Dari gundiknya beliau juga dikaruniai seorang putera. Akan tetapi dengan kelicikannya gundik tersebut berhasil mempengaruhi Raja Air Merah untuk mengangkat anaknya sebagai pengganti Raja Air Merah. Tengku Husin dan Tengku Abbas diusir oleh ayahnya dari kerajaan Air Merah yang dikenal dengan nama Kerajaan Panai.
Tengku Husin dan Tengku Abbas tidak senang dengan hal ini dan membawa ibu mereka (permaisuri yang sah) menghadap Sultan Aceh (Sultan Iskandar Muda pada masa itu) untuk meminta bantuan. Dengan kebijaksanaannya Sultan Aceh mengutus salah seorang Panglimanya Raja Muda Pedir untuk menyelesaikan sengketa di Kerajaan Panai tersebut.
Raja Muda Pedir dengan dibekali armada perang kerajaan Aceh berangkat ke Air Merah. Dan terjadilah pertempuraan di sana. Dalam pertempuran tersebut Sultan Mangkuto Alam mati terbunuh di bawah pohon jambu. Dan karena itu beliau diberi gelar Marhum mangkat di jambu. Dengan terbunuhnya Sultan Mangkuto Alam, sengketa pun berhasil diselesaikan. Sebagai hadiah atas bantuan Sultan Aceh tersebut Tengku Abbas dan Tengku Husin beserta ibunya bersepakat untuk menyerahkan kedua orang adik perempuan mereka yaitu Siti Ungu Selendang Bulan dan Siti Medja sebagai hadiah kepada Sultan Aceh untuk dijadikan Istri.
Beberapa tahun kemudian setelah kerajaan Panai kembali bangkit dan menjadi sebuah kerajaan yang makmur, Tengku Husin dan Tengku Abbas teringat dengan kedua adik perempuan mereka yang berada di Kerajaan Aceh. Karena rasa rindu akhirnya mereka memutuskan berangkat ke kerajaan Aceh untuk menemui adik perempuan mereka tersebut. Sebelum berangkat mereka singgah ke Asahan untuk mengajak salah seorang raja di sana yang pernah bertemu dengan Sultan Aceh sebelumnya dan mengerti dengan bahasa Aceh. Raja tersebut bernama Banyak Lingga Karo-karo. Banyak Lingga Karo-karo pun setuju untuk menemani mereka menemui Sultan Aceh.
Setibanya mereka di Negeri Aceh, mereka menemukan banyak pendatang dari luar Aceh yang berdatangan ke negeri tersebut karena di sana sedang berlangsung sayembara Sabung Ayam (Laga ayam) dengan hadiah yang besar. Sultan Iskandar Muda pun ikut ambil bagian dalam sayembara tersebut karena beliau memang hobbi dalam bidang ini. Akan tetapi sangat disayangkan ayam milik Sultan banyak yang mengalami kekalahan dari ayam orang Bugis.
Melihat kejadian ini mereka bertiga kemudian mencari beberapa ekor ayam untuk dilatih. Dan karena memang Orang Air Merah terkenal ahli dalam bidang sabung Ayam, tidak berapa lama mereka telah memiliki beberapa ekor ayam yang telah dilatih dan siap dilaga untuk diserahkan kepada Sultan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda sangat terkejut dan senang karena ayam pemberian mereka banyak yang mengalami kemenangan dalam sayembara tersebut. Dan Akhirnya setelah melewati beberapa pertandingan Ayam milik Sultan Iskandar Muda berhasil menjadi juara dalam sayembara tersebut. Atas jasa mereka Sultan Iskandar Muda mengundang mereka bertiga dalam acara Jamuan makan serta menawarkan hadiah apa yang mereka inginkan.
Mendengar hal ini mereka bertiga memohon waktu untuk bermufakat. Dan tak lama kemudian mereka bertiga kembali menemui Sultan Iskandar Muda untuk mengajukan permintaan sebagai hadiah yang ditawarkan oleh Sultan.
Alangkah terkejutnya Sultan Iskandar Muda mendengar permintaan mereka, karena mereka meminta kedua orang adik perempuan mereka yaitu Siti Ungu Selendang Bulan dan Siti Medja untuk dibawa pulang ke Kerajaan Panai. Akan tetapi dengan kebijaksanaannya dan kesetiaan dengan janjinya Sultan Iskandar Muda pun mengabulkan permintaan mereka dengan beberapa syarat.
Syarat tersebut adalah karena pada saat itu Siti Ungu Selendang Bulan sedang mengandung, maka sebelum anak yang dikandungnya lahir dia tidak boleh dikawinkan dengan siapa pun. Dan jika anak yang dilahirkannya tersebut adalah seorang Putera maka anak tersebut harus diangkat menjadi raja di Asahan. Mereka bertiga menyetujui syarat tersebut dan langsung bersiap-siap untuk berangkat pulang ke Air Merah.
Sebelum mereka berangkat Sultan Iskandar Muda memberikan dua pucuk surat dan berpesan kepada mereka agar singgah terlebih dahulu di Pasai untuk membawa serta anak Sakmadiraja yang keturunannya dari kampung sungai Tarap Minangkabau dengan tujuan agar menjadi saksi hamilnya Siti Ungu Selendang Bulan dan menjadi pemangku selama anak tersebut beranjak dewasa. Sedangkan surat kedua ditujukan kepada Raja Pasai agar ia setuju untuk melepaskan anak Sakmadiraja tersebut untuk berangkat bersama mereka.
Setelah menerima pesan dan dua pucuk surat tersebut mereka pun berangkat melalui lautan dengan disaksikan oleh Sultan Iskandar Muda. Dan seperti yang dipesankan sebelum menuju kampung halaman mereka singgah ke Pasai terlebih dahulu untuk menyerahkan surat dan membawa serta anak Sakmadiraja bersama mereka.
Setelah mereka tiba di Air Merah, beberapa bulan kemudian Siti Ungu Selendang Bulan pun melahirkan seorang putera yang diberi nama Abdul Jalil Rahmatsyah dan dinobatkan menjadi raja Asahan yang pertama.
Kepada penulis, almarhum Zasnis Sulung mengatakan, sesuai hasil penelitiannya, Kesultanan Asahan sangat maju di massa pemerintahan Sultan Muhammad Hussein Syah (1813–1854) dan anaknya, Sultan Ahmad Syah, Asahan merupakan kerajaan yang disegani di daerah antara Serdang dan Siak dan mempunyai pengaruh besar di Batu Bara, Bilah dan Panai. Di masa inilah terjadi pertempuran antara Belanda, Inggris dan Aceh di Asahan. Karena Belanda dan Inggris masing-masing bersaing untuk meluaskan kekuasaan penjajahan dan perdagangan mereka di pesisir timur Sumatera sementara Aceh pun berkeras mempertahankan kedaulatannya di Asahan.
Tuntutan Belanda terhadap negeri-negeri di Pesisir Timur termasuk Asahan adalah berdasarkan Perjanjian Siak yang ditandatangani oleh Belanda dengan Kesultanan Siak pada 1 Februari 1858. Berdasarkan perjanjian itu, Siak diserahkan kepada Belanda termasuk daerah taklukannya seperti Asahan, Batu Bara, Serdang, Deli, Langkat dan Tamiang. Berdasar sejarah, hak Siak atas kerajaan-kerajaan ini adalah berdasarkan penyerangannya pada tahun 1791.
Tetapi kenyataannya adalah kekuasaan Siak hanya sebatas nama saja dan tidak diakui oleh banyak pihak. Di masa yang sama, negeri-negeri ini mempunyai hubungan perdagangan yang erat dengan Pelabuhan Inggris di Pulau Pinang di mana nilai ekspor lada, rotan dan barang lain dari Sumatera bernilai 150.000 Poundsterling per tahun.
Pada saat Elisa Netscher dilantik sebagai Residen Belanda di Riau pada tahun 1861, Beliau menghantar seorang pembesar Minangkabau, Raja Burhanuddin, ke negeri-negeri ini untuk menilai keadaan. Beliau melaporkan kepada Netscher bahwa tidak ada kerajaan yang mau mengakui kedaulatan Siak. Deli, Serdang dan Langkat masih di bawah pengaruh Aceh tetapi bersedia menerima perlindungan Belanda. Hanya Asahan dan negeri di bawah pengaruhnya: Batu Bara, Panai dan Bilah, yang tidak mau berhubungan dengan Siak dan Belanda.
Pada Agustus 1862, Netscher dan Pembantu Residen Belanda di Siak, Arnold, diiringi oleh pembesar-pembesar Siak mengunjungi negeri-negeri yang terlibat. Walaupun mengalami beberapa kesulitan, Netscher berhasil menundukkan Panai, Bilah, Kota Pinang, Serdang, Deli dan Langkat di bawah kekuasaan Belanda. Hanya Asahan saja yang tidak bersedia tunduk, bahkan di pantai Asahan dikibarkan bendera Inggris.
Tindakan Belanda ini mendapat tantangan yang keras dari pedagang-pedagang Inggris di Pulau Pinang. Sebelumnya Sultan Asahan dan Raja Muda Asahan telah memberitahu Gubernur negeri-negeri Selat, yaitu Kolonel Cavenagh, perihal niat Belanda. Major Man, Resident Councillor di Pulau Pinang, kemudian dikirim ke Deli, Serdang dan Langkat untuk mengawasi keadaan.
Sultan Ibrahim, Aceh, turut menentang tindakan Belanda ini. Dari kacamata Aceh, seluruh pesisir timur Sumatera sampai ke Panai dan Bilah adalah daerah taklukannya. Justru itu, angkatan perang Aceh dikirim ke Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batu Bara dan Asahan. Di Asahan dan Serdang angkatan perang Aceh disambut dengan baik. Sebagai balasan, pada tahun 1865, Belanda mengirim angkatan perangnya untuk menyerang Asahan, Serdang, Tamiang dan Batu Bara. Saat pasukan Belanda tiba di Asahan, Sultan Ahmadsyah dan adik-adiknya, Tengku Muhammad Adil dan Tengku Pengeran Besar Muda, mundur ke daerah pedalaman.
Netscher kemudian mengangkat Tengku Naamal Allah, Yang Dipertuan Negeri Kualuh, menjadi pemangku Sultan Asahan dan melantik seorang Contoleur Belanda sebagai penasehat. Sultan Ahmadsyah kemudian menyerah namun kaum Batak di pedalaman meneruskan perjuangan menentang Belanda. Pada tahun itu juga, Sultan Ahmadsyah diasingkan Belanda ke Riau bersama adiknya, Tengku Muhammad Adil. Tengku Pengeran Besar Muda di asingkan ke Ambon. Pada tahun 1868, Tengku Naamal Allah dilantik menjadi Pemangku Sultan karena kaum Batak tidak mau menokong pemerintahannya dan menuntut kepulangan Sultan Ahmad Syah.
Pak Netak, Raja Bandar Pulau di Hulu Asahan, mati semasa menentang Belanda pada tahun 1870. Perjuangan secara gerilya diteruskan, terutama pada tahun 1879 dan 1883. Dari tahun 1868 sampai dengan 1886 Asahan diletakkan Netscher di bawah pentadbiran empat orang pembesar Melayu.
Akhirnya, pada tahun 1885, Belanda mengizinkan Sultan Ahmadsyah pulang ke Asahan dengan syarat Beliau tidak boleh campur tangan mengenai politik. Beliau menandatangani perjanjian politik dengan Belanda (Akte Van Verband) pada 25 Maret 1886 di Bengkalis dan kembali memerintah Asahan pada 25 Maret 1886 sampai kemangkatannya pada 27 Juni 1888.
Di pihak Inggris, tantangan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di Pesisir Timur semakin lama semakin berkurang karena munculnya kekuatan-kekuatan besar yang baru seperti Perancis, Amerika
Serikat, Jerman dan Itali yang masing-masing tertarik pula dengan Asia Tenggara. Inggris memandang lebih baik bekerjasama dengan Belanda. Lagipula Belanda tengah melonggarkan dasar perdagangannya di Sumatera dan ini mendatangkan keuntungan kepada pedagang-pedagang Inggris di Pulau Pinang dan Singapura.
Pada 2 November 1871, Inggris menandatangani Perjanjian Sumatera dengan Belanda di mana antara lain Inggris membatalkan semua perlawanan terhadap Belanda di mana-mana daerah di Sumatera dan rakyat Inggris mempunyai hak berdagang yang sama dengan rakyat Belanda di Sumatera.
Dari Pemerintahan Sultan Muhammad Hussein Rahmat Syah II Hingga Pendudukan Jepang 1942 – 1945
Pada 6 Oktober 1888, Tengku Ngah Tanjung ditabalkan menjadi Sultan Asahan X dengan gelar Sultan Muhammad Hussein Rahmat Syah II. Pelantikan ini dibuat berdasarkan wasiat saudara ayahnya, Sultan Ahmad Syah yang mangkat tanpa meninggalkan keturunan. Residen Belanda, G. Scherer juga memberi persetujuan terhadap pelantikan ini.
Di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Hussein II, langkah-langkah diambil untuk memajukan Asahan seperti menggalakkan Syarikat Eropa membuka perusahaan di Asahan untuk memberi peluang pekerjaan bagi penduduknya. Pada tahun 1908, Beliau bersama dengan adik-adiknya, Tengku Alang Yahya dan Tengku Musa, berkunjung ke Belanda untuk menerima gelar “Ridder der Orde van den Nederlanschen Leeuw” dari Ratu Wilhelmina. (BERSAMBUNG)