Pada tulisan terdahulu, penulis telah menceritakan pertemuan antara Raja Aceh dengan Si Bayak Lingga. Dalam pertemuan tersebut Sibayak Lingga dengan bersusun sembah menyatakan sumpah setianya kebawah duli tuanku Raja Aceh dan sebagai hamba sahaya berjanji akan menjalankan segala titah perintah baginda dengan segala ketulusan hati.
Dan pertemuan yang bersejarah di Dusun Persembahan tersebut, telah diakhiri oleh Raja Aceh dengan memberikan cendera mata berupa seperangkat pakaian hulubalang kerajaan Aceh berikut rencong berhulu gading dan sebilah kelewang berikut perisainya kepada Sibayak Lingga.
Lalu, Raja Aceh menawarkan supaya bila ada kesempatan supaya Sibayak Lingga dapat datang ke Kutaraja (Banda Aceh) menemui baginda. Betapa berbahagianya hati Sibayak Lingga menerima undangan berikut cendera mata dari raja Aceh tersebut.
Sebagai rasa syukurnya Sibayak Lingga telah bersujud berulang kali di bawah kaki baginda dengan air mata suka cita mengalir di matanya.. Dan setelah bersusun sembah Sibayak Lingga pun mohon diri untuk turun dari kapal kerajaan Aceh yang megah itu untuk kembali keperahunya. Dengan dielu-elukan oleh prajurit kerajaan Aceh itu selanjutnya Sibayak Lingga kembali ke istana Simargolang yang bersemayam di Huta Bayu.
Sedangkan raja Aceh dengan armada lautnya yang besar itu telah meninggalkan Sungai Asahan mengharungi Selat Malaka menuju negeri Johor disemenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Menurut catatan sejarah, di negeri seberang itu kerajan Aceh telah melakukan peperangan dengan kerajaan Johor.
Sementara Sibayak Lingga kembali menghadap Raja Simargolang dari dinasti ke-III ini, menceritakan segala pembicaraannya dengan Raja Aceh yang terkesan sangat gagah, baik, berwibawa dan karismatik tersebut.
Ketika itu juga Raja Simargolang menyetujui nama negerinya “Pardembanan” itu diganti dengan “Asahan”. Salah satu yang diharapkan dari penggantian nama negeri itu, ialah supaya kerajaan Aceh dapat memberi perlindungan kepada negeri Asahan ini dikemudian hari.
Saat itu Raja Simargolang dan kerajaan lainnya di Toba, memang sudah tahu mengenai keperkasaan dan sekaligus kekejaman Raja Aceh. Semua kerajaan kecil saat itu merasa takut kepadanya. Apalagi saat itu telah terbetik berita sampai kemana-mana bahwa tahun 1539 M tersebut, Raja Aceh telah menghancurleburkan sekaligus dua kerajaan di Sumatera Timur, yakni kerajaan Melayu Haru di Deli Tua dan Nagur (Nakur) di Simalungun.
Akhirnya, tempat pertemuan raja Aceh dengan Sibayak Lingga tersebut, dinamakan oleh Raja Simargolang dengan nama “Persembahan”. Sebab, di tempat inilah Sibayak Lingga bertemu dan menyampaikan persembahannya kepada raja Aceh. Dan yang teramat penting lagi justeru di tempat itu pulalah ditabalkannya nama negeri Asahan oleh Raja Aceh.
Lalu, atas izin Raja Simargolang, Sibayak Lingga pun menunaikan perintah raja Aceh, dengan membangun perkampungan baru di hilir Sungai Asahan itu. Kampung baru ini kemudian dinamakan oleh Sibayak Lingga dengan nama kampung Tualang.
Kenapa dinamakan kampung Tualang?. Sebab, di pinggir sungai berbentuk teluk itu berdiri sebatang kayu Tualang yang sangat besar setinggi hampir dari 25 meter menjulang ke langit. Sayangnya, sekarang kayu itu tak bisa lagi ditemukan, karena sejak beberapa tahun lalu kayu yang juga dinamakan “kayu raja” ini telah tumbang. Batangnya tenggelam ke dalam rawa-rawa disekitarnya, akibat diterpa angin puting beliung. Yang tersisa kini hanyalah tunggulnya setinggi 4 meter dengan lingkaran pangkal batang 2 meter.
Sekarang kampung Tualang yang juga merupakan situs sejarah tersebut telah berubah wajah dari perkampungan purba, menjadi areal perkebunan PT Padasa Teluk Dalam. Dan makam-makam yang ratusan jumlahnya di tempat itu telah digusur tanpa ampun dengan alat buldozer oleh PTP-IV Air Batu, ketika lahan ini dibuka untuk HGU perkebunan Negara tersebut tahun 80-an lalu. Kemudian pada lokasi kuburan itu telah dibuat jalan dan pondok Afdeling, sehingga karyawan di sini disebut sering mendapat gangguan dari hantu-hantu.
Sedangkan air rawa-rawa di sekitar tunggul kayu Tualang itu, yang pada zaman Sibayak Lingga merupakan teluk yang kemudian menjadi asal mula nama kampung Teluk Dalam tersebut, kini sudah tercemar bercorak hitam dan berbau busuk. Sebab, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) PT Padasa Teluk Dalam yang mengambil alih perkebunan ini diduga telah membuang limbahnya secara sembarangan ke rawa-rawa tersebut.
Bagaimana pun, menurut para karyawan yang tinggal di sana, biar kayu Tualang itu sekarang hanya tinggal tunggul bisu, tapi banyak orang tak berani mendekati tempat itu. Kenapa? Karena tempat itu sangat seram dan masih menyimpan keangkeran,” kata seorang karyawan bernama Supardi.
Dahulu, lanjut Supardi, ketika hutan di sini mulai dibuka untuk perkebunan, orang sebanyak satu mandoran sekitar 25 orang telah hilang raib tanpa kesan di tempat ini. Pasalnya, karena mereka berniat hendak menebang kayu Tualang tersebut, tapi tiba-tiba saja turun hujan petir dan para karyawan itu menghilang semua di tempat itu.
Kampung Tualang ini semakin penting untuk dilindungi dan dijadikan sebagai situs sejarah atau cagar budaya oleh Pemkab Asahan. Sebab di tempat ini pulalah istri Raja Aceh Sultan Alauddin Riayat Syah Al Qahar, bernama Puteri Ungu Selendang Bulan, melahirkan anaknya Abdul Jalil Rakhmatsyah, yang menjadi Sultan Asahan pertama dan melahirkan keturunan sultan-sultan Asahan lainnya hingga tahun 1946.
Kita kembali pada pertemuan antara Raja Aceh dan Sibayak Lingga. Menurut ketiga sejarawan Asahan Zasnis Sulung, Raja Kamal, dan Yus Chan, setelah pertemuan itu Sultan Iskandar Muda dan armadanya pun berangkat meninggalkan tempat itu. Banyak Lingga langsung menghadap kepada Raja Simargolang untuk menyampaikan pesan dari Sultan Aceh tersebut. Dan mendengar hal tersebut Raja Simargolang segera melaksanakan pesan Sultan Aceh tersebut dengan membangun sebuah perkampungan di hilir Sungai Asahan. Dan atas jasa-jasanya Raja Simargolang mengangkat Banyak Lingga menjadi raja di perkampungan tersebut dengan gelar Raja Karo-karo.
Mengikut tradisi setempat, Kesultanan Asahan bermula kira-kira pada abad XVI, yaitu ada saat Sultan Abdul Jalil ditabalkan sebagai Sultan Asahan yang pertama dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah. Ayahnya ialah Sultan Alaiddin Mahkota Alam Johan Berdaulat (Sultan Alaiddin Riayat Syah “Al Qahhar”), Sultan Aceh ke XIII yang memerintah sejak tahun 1537 – 1568, sementara ibunya adalah Siti Ungu Selendang Bulan, anak dari Raja Pinang Awan yang bergelar “Marhum Mangkat di Jambu”.
(Pinang Awan terletak di Kabupaten Labuhan Batu). Sebelumnya, Aceh telah menaklukkan negeri-neeri kecil di pesisir Sumatera Utara dan di dalam salah satu pertempuran inilah Raja Pinang Awan terbunuh dan anaknya Siti Ungu dibawa ke Aceh dan menikah dengan Sultan Alaiddin.
Sultan-sultan Asahan berikutnya adalah Sultan Saidisyah, Sultan Muhammad Rumsyah, Sultan Abdul Jalil Syah II (mangkat 1765), Sultan Dewa Syah (1756 – 1805) dan Sultan Musa Syah (1805 – 1808) masing-masing memindahkan pusat pemerintahan negeri Asahan dari satu tempat ke tempat lain.
Setelah kemangkatan Sultan Asahan VII, Sultan Muhammad Ali Syah (1808 – 1813), terjadi perebutan kuasa di antara anaknya, Raja Hussein dengan pihak anak saudaranya, Raja Muhammad Ishak. Sebagai penyelesaian, Raja Muhammad Ishak diangkat menjadi Yang Dipertuan Negeri Kualuh yang sebelum ini adalah sebagian dari wilayah Asahan. Raja Hussein sendiri diangkat menjadi Sultan Asahan dengan gelar Sultan Muhammad Hussein Syah.
Antara kerajaan Pinang Awan (Kota Pinang) dengan kerajaan Asahan memiliki kekerabatan yang sangat dekat. Sebelum kerajaan Asahan berdiri terlebih dahulu telah berdiri kerajaan Pingan Awan. Kerajaan Pinang Awan didirikan oleh seseorang yang bernama Batara Sinomba atau disebut juga dengan Batara Gorga Pinayungan yang berasal dari keturunan Minangkabau, anak dari raja Alamsyah Syaifuddin keturunan raja Adithyawarman yang memerintah di kerajaan Pagaruyung pada abad ke XV masehi.
Dalam buku “Bunga Rampai Kesultanan Asahan” menceritakan bahwa Raja Alamsyah Syaifuddin (Raja Pagaruyung pada masa itu) telah mengusir seorang anak kandungnya yaitu Batara Gorga Pinayungan dan anak tirinya yang bernama Puteri Longgogeni dari negeri itu karena melakukan sebuah perbuatan yang tercela menurut adat daerah tersebut.
Ketika mereka berdua sedang berkemas untuk meninggalkan negeri tersebut tiba-tiba adik dari Batara Gorga Pinayungan yang bernama Batara Guru Payung bersikeras untuk ikut serta dengan mereka, Akan tetapi Sultan Alamsyah Syaifuddin tidak mengizinkannya. Akan tetapi dengan diam- diam akhirnya Batara Guru Payung ikut juga dengan mereka. (BERSAMBUNG)