Perkembangan dunia pers dalam beberapa tahun belakangan sangat menakjubkan. Tanggal 9 Februari 2017 tepatnya hari Kamis, insan pers di Indonesia akan memperingati Hari Pers Nasional (HPN) ke-69. Jika bicara tentang pers, tentu tak terlepas dari yang namanya Media, baik itu media cetak, elektronik (televisi/radio), media masa (online/facebook, twiter, istagram dll).
Oleh: Syafruddin Yusuf, Asahan
Selain itu, dalam dunia pers juga pasti kita tidak asing dengan yang namanya wartawan atau jurnalis atau pewarta. Saat ini dunia pers di Indonesia sendiri cukup kewalahan menangani adanya sejumlah penyimpangan dari profesi seseorang yang mengaku dan mengklaim dirinya sebagai “wartawan” namun minim akan karya hasil tulisan.
Biasanya tipe wartawan ini disebut wartawan abal-abal, wartawan bodrex atau Wartawan Muntaber = Muncul Tanpa Berita. Biasanya golongan wartawan ini yang kerjanya hanya bermodalkan satu eksemplar koran yang dibawa di kantong lalu mendatangi perkantoran pemerintahan (SKPD), sekolah-sekolah, perkebunan kelurahan, DPRD, kejaksaan, pengadilan, kepolisian, kecamatan dan lain-lain untuk mengogap/menakut-nakuti guna melakukan pemerasan.
Padahal, pada hakikatnya, wartawan adalah seseorang yang melakukan kegiatan jurnalistik atau orang yang secara teratur menuliskan berita (berupa laporan) dan tulisannya dikirimkan/dimuat di media massa secara teratur. Laporan ini lalu dapat dipublikasi dalam media massa, seperti koran, televisi, radio, majalah, film dokumentasi, dan internet (online/facebook, twiter/istagram).
Seorang wartawan yang hendak menulis berita biasanya mencari sumber data mereka untuk ditulis dalam laporannya. Dalam menuliskan suatu berita, seorang wartawan diharapkan harus menulis laporan yang berimbang tidak mengandung opini,
Saat ini Dewan Pers telah memfasilitasi perubahan standar kompetensi wartawan bersama masyarakat pers, maka Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tidak tinggal diam. Organisasi profesi wartawan tertua di Indonesia ini langsung mengambil inisiatif untuk menyosialisasikannya.
Pada tahun 2010, Standar Kompetensi Wartawan (SKW) diangkat ke pemukaan dalam peringatan Hari Pers Nasional yang dipusatkan di Palembang, Sumatera Selatan. SKW ini merupakan salah satu di antara butir “Piagam Palembang” tentang Kesepakatan Perusahaan Pers Nasional.
Dalam kesepakatan perusahaan pers nasional itu ada enam hal yang disetujui. Khusus untuk butir satu, yang disetujui adalah: melaksanakan sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Standar Perusahaan Pers (SPS), Standar Perlindungan Wartawan (SPW) dan Standar Kompetensi Wartawan (SKW).
Kendati menjadi wartawan merupakan hak asasi seluruh warga negara, namun bukan berarti setiap warga negara bisa melakukan pekerjaan kewartawanan. Ada ketentuan dan “alat ukur” yang perlu dijadikan sebagai pedoman dalam dalam melaksanakan profesi kewartawanan itu.
Pekerjaan wartawan berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat atau publik. Sebagai profesi yang terhormat, maka wartawan wajib mengawal kebenaran dan keadilan, melakukan perlindungan terhadap hak-hak pribadi masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya wartawan harus memiliki standar kompetensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Standar kompetensi itu menjadi alat ukur profesionalitas wartawan.
SKW ini diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat guna menjaga kehormatan pekerjaan wartawan. Jadi, bukan untuk membatasi hak-hak warga negara menjadi wartawan. Melalui SKW ini pula wartawan akan diuji kemampuan intelektual dan pengetahuan umumnya. Sebab, di dalam SKW itu melekat pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Kemampuan untuk memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa tidak dapat dilepaskan dari kaitan kompetensi wartawan. Hal ini juga menyangkut kemahiran melakukan kemampuan yang bersifat teknis. Di sinilah dapat diketahui tentang profesionalitas wartawan dalam mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah, membuat dan menyiarkan berita.
Seorang wartawan harus mengikuti uji kompetensi guna mendapat SKW tersebut. Dewan Pers sudah menetapkan lembaga yang diverifikasi sebagai pelaksana uji kompetensi itu. Selain organisasi wartawan dan perusahaan pers, juga dapat dilaksanakan oleh perguruan tinggi dan lembaga pendidikan jurnalistik.
Jadi, nantinya wartawan yang belum mengikuti uji kompetensi dinilai belum memiliki kompetensi sesuai dengan SKW yang ditetapkan Dewan Pers. Sejarah pers dan kewartawanan, organisasi tata kerja keredaksian, bagian penyuntingan atau sub editing, teknik penulisan yang memberi opini seperti dalam features. editorial atau tajuk rencana, rubrik-rubrik, foto jurnalistik, hukum-hukum pers, Kode Etik Jurnalistik, perusahaan pers dan grafika sebenarnya keseluruhannya itu sangat erat sekali kaitannya dengan dunia atau ilmu jurnalsitik.
Jadi perlu saya ulangi lagi, bahwa yang biasa disebut dengan “wartawan” adalah sebuah profesi yang penuh dengan etika dan tata cara maupun aturan dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, setiap orang yang melanggar aturan maupun kode etik tersebut dapat dikatakan bukan sebagai “wartawan” dan hasil karyanya pun bukan merupakan karya jurnalistik. (***)