MADINA– Taman Panyabungan, di pusat Kota Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal menyimpan banyak cerita kesenjangan sosial.
Sabtu (11/2) malam menjelang dini hari. Saat hendak memasuki pintu taman dari arah pintu Timur, atau di depan Rumah Sakit Umum Daerah Panyabungan, ramai parbetor memarkirkan becaknya.
Mereka menunggu penumpang, sambil sesekali menggoda wanita tuna susila serta waria yang juga duduk di pot-pot bunga hiasan yang menyatu dengan pagar taman berbentuk segitiga tersebut.
Di sepanjang sisi Utara yang menghadap Markas Koramil 13 Panyabungan dan Mess Pemprovsu Panyabungan, juga ramai berjejer sepedamotor yang tengah parkir dan ditunggangi empunyanya. Pintu dari arah ini jelas tertutup dan terkunci.
Dari bagian dalam taman, ada banyak tempat duduk yang dibalut keramik putih. Mengelilingi taman, dari bawah pohon-pohon palem dan lainnya ada terdapat jalan setapak menyerupai trotoar. Tidak terlalu luas.
Canda tawa dan tangis anak-anak usia balita hingga 6 tahun membuat ramai isinya yang sebagian terang dan sebagian lagi temaram. Anak-anak itu adalah anak-anak wanita tuna susila, pun ada juga di antara penghuni taman yang merupakan tuna wisma.
Di sebagian sisi, banyak juga bertumpuk sampah, ada juga barang-barang tuna wisma. Berjalan lebih ke dalam, terlihat Dua wanita usia 40-an tahun bercanda ria dengan dua pria di antara rengek anak-anak. Mereka duduk di sudut menghadap ke Selatan, Pos Turjawali Satlantas Polres Psp, Jembatan Aek Mata serta TK Bhayangkari yang juga ada di dekat taman itu.
Tepat di depan mereka, seorang pria tuna wisma, yang masyarakat Panyabungan kerap menyebutnya ‘Kuncup’ menyorot tajam. Ia duduk di antara barang-barang miliknya yang penuh mengisi tempat duduk yang memiliki panjang 2 meter itu.
“Ada lebih 10 orang di sini,” kata Mawar (bukan nama sebenarnya). Perempuan yang mengaku kelahiran 1992 warga Banjar Sibaguri, Kelurahan Panyabungan III itu sembari menghisap rokok yang dimintanya, menyebut banyak wanita seprofesinya sebagai WTS di lokasi itu.
Mawar yang memiliki nama berinisial Bl ini menyebut, banderol jasa mereka berkisar Rp50 hingga Rp200 ribu. Tergantung kesepakatan antara ‘Pasien’ dan mereka sendiri secara langsung tanpa perantara. Ia sendiri mengaku baru sebulan menjajakan diri di situ.
Pada saat ini, ada enam wanita di taman, masih ada lagi yang akan datang pada dini hari nanti, sebab sebagian lainnya tengah menikmati malam di kawasan Pakter Kafe Rambutan, di daerah Desa Simanondong, Kecamatan Naga Juang.
Selanjutnya, beranjak ke waktu dini hari. Suasana bagian dalam taman malah makin sepi. Yang ada, dua anak tertidur pulas di atas tikar dengan tubuh berbalut kain batik. Mereka lelap di bawah pepohonan dan di atas rerumputan taman. Sebelumnya, ibu dua anak-anak ini mencak-mencak ketika dihampiri dan disapa tentang keberadaan suaminya.
“Si N, sudah mati dia. Aku gak tahu sama dia,” kesalnya sembari menggendong dan membaringkan anaknya yang paling kecil di tikar yang saat ini dua anak itu tertidur.
Selain dua anak itu, ada juga beberapa muda-mudi yang mengaku sebagai anak punk. Seorang waria bernama samaran Gisel mengusik hening, dengan tingkahnya yang gontai efek minuman keras. Dua laki-laki berlogat Sunda, rekan waria itu datang menghampiri membawa tuak dan mereka menenggaknya di tepi Pancuran Air yang tidak lagi berair tengah taman itu.
Mawar alias Bl sebelumnya juga mengungkapkan, bila waria dan WTS di lokasi itu sama saja. Menunggu ‘pasien’ yang akan menawar mereka, untuk selanjutnya eksekusi di kawasan persawahan. Lokasi ini berada di belakang RSUD Panyabungan. Satu komplek dengan Kantor Pos dan beberapa sekolah dasar di dekatnya.
“Tapi mereka itu yang ke sawah-sawah sana, aku mana mau aku. Ada nanti yang nelpon aku, kalau di sini cuma nongkrong aja,” kata wanita bertubuh pendek dan tambun itu.
Kesenjangan sosial di Taman Panyabungan itu teramat miris, terlebih pada anak-anak yang seharusnya memiliki waktu bermain dan belajar di sekolah. Tapi, kenyataannya mereka harus turut bersama ibu mereka yang menjajakan diri demi biaya hidup.
“Di sini seharusnya kita jeli, pemerintah juga jangan hanya diam melihat realita sosial ini. Kesenjangan sosial ini adalah tanggung jawab kita semua,” kata Muhammad Al-Hasan Nasution SPd, ketua Karang taruna Madina.
Menurut Al-Hasan, sebaiknya pemerintah melakukan pendataan terhadap wanita rawan sosial ini, untuk selanjutnya diberikan pembinaan. Alasannya, kata Sekretaris Forum Umat Islam Bersatu ini, dengan begitu akan ada harapan hidup layak bagi mereka dan anak-anak mereka tentunya.
“Hak Anak dan Kesejahteraan Anak itu diatur dalam Undang-Undang. Sungguh disayangkan, bila kita tetap tidak peduli dengan keadaan seperti ini. Sebab mereka anak-anak yang tinggal di Taman itu sangat rentan menjadi korban perdagangan atau tidak kejahatan lainnya,” tandasnya. (san/ma/int)