KISARAN- Dari 29 November sampai 3 Desember 2016, Badan Pembentukan Perda dan Komisi C DPRD Asahan melakukan studi banding ke Batam. Di sana, mereka mengamati serta mempelajari pemanfaatan sampah menjadi energi alternatif mengatasi krisis listrik.
Selama ini, kata Ketua Badan Pembentukan Perda DPRD Asahan Rosmansyah STP, lebih kurang 50 ton sehari sampah masyarakat di Asahan. Sampai-sampai tempat pembuangan akhir (TPA) di Kelurahan Sidodadi, yang luasnya sampai 10 hektare (ha) tak mampu lagi menampung sampah.
Selama ini, sampah-sampah itu hanya diserak, ditutup dan ditanam. Kemudian sisa plastik tidak terlarutkan dan tertanam dalam tanah. Akibatnya, TPA yang luasnya lebih kurang delapan lapangan bola kaki itu tak mampu lagi menampung sampah.
‘’Inilah yang menjadi problema selama ini,” kata Rosmansyah STP, Ketua Badan Pembentukan Perda DPRD Asahan, kepada wartawan, Senin (5/12).
Mengingat kondisi itu, lalu terpikirlah bagaimana memanfaatkan sampah untuk kemaslahatan umat. Kemudian melakukan studi banding ke Batam, daerah yang telah berhasil melakukan pendekatan teknologi, mengkonversikan sampah menjadi waste to energy (konsep mengolah sampah menjadi energi).
‘’Sampah dikelola untuk menghasilkan energi listrik. Kalau ini sukses tentu bisa mengurangi krisis listrik,” ujarnya.
Setelah mempelajari pengelolaan sampah di Kepulauan Batam, Rosmansyah terpikir untuk menerapkannya di Kabupaten Asahan.
‘’Kita akan mengajukan penganggaran pengelolaan sampah itu di APBD 2017,” ujarnya.
Untuk diketahui bahwa pola pengelolaan sampah sampai saat ini masih menganut paradigma lama, dimana sampah masih dianggap sebagai sesuatu yang tak berguna, tak bernilai ekonomis dan sangat menjijikkan. Masyarakat sebagai sumber sampah tak pernah menyadari bahwa tanggung jawab pengelolaan sampah yang dihasilkan menjadi tanggung jawab dirinya sendiri.
Apabila sampah-sampah yang luar biasa itu mulai menjadi masalah bagi manusia, barulah manusia menyadari ketidak perduliannya selama ini terhadap sampah dan mulai menimbulkan kepanikan dan menghantui di mana-mana tanpa tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya.
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia, karena setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah.
Volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi manusia terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari. Dalam sehari, setiap warga kota menghasilkan rata-rata 900 gram sampah, dengan komposisi, 70% sampah organik dan 30% sampah anorganik. Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah.
Sampah yang dihasilkan oleh (manusia) pengguna barang, dengan kata lain adalah sampah-sampah yang di buang ke tempat sampah.
Kedua, reuse (memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.
Ketiga, recycle (daur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain. Keempat, replace ( mengganti); teliti barang yang dipakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan. Misalnya, ganti kantong keresek dengan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidak bisa didegradasi secara alami.
Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Selama ini pengelolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sampah bersifat terpusat, di buang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur.
Seharusnya, sebelum sampah dibuang dilakukan pengelompokkan sampah berdasarkan jenis dan wujudnya sehingga mudah untuk didaur ulang dan/atau dimanfaatkan (sampah basah, sampah kering yang dipilah-pilah lagi menjadi botol gelas dan plastik, kaleng aluminium, dan kertas). Untuk tiap bahan disediakan bak sampah tersendiri, ada bak sampah plastik, bak gelas, bak logam, dan bak untuk kertas.
Pemilahan sampah itu dimulai dari tingkat RT (Rumah tangga), pasar dan apartemen. Bila kesulitan dalam memilih sampah tersebut minimal sampah dipisahkan antara sampah basah (mudah membusuk) dan sampah kering (plastik,kaleng dan lain-lain)
Pemerintah sendiri menyediakan mobil-mobil pengumpul sampah yang sudah terpilah sesuai dengan pengelompokkannya. Pemerintah bertanggung jawab mengorganisasi pengumpulan sampah itu untuk diserahkan ke pabrik pendaur ulang.
Sisa sampahnya bisa diolah dengan cara penumpukan (dibiarkan membusuk), pengomposan (dibuat pupuk), pembakaran. Dari ketiga cara pengelolaan sampah basah yang biasa dilakukan dibutuhkan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang cukup luas. Selain itu efek yang kurang baikpun sering terjadi seperti pencemaran lingkungan, sumber bibit penyakit ataupun terjadinya longsor.
Selain dengan cara pengelolaan tersebut di atas ada cara lain, yaitu sampah dimanfaatkan menjadi sumber energi listrik (waste to energy) atau yang lebih dikenal dengan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah).
Konsep Pengolahan Sampah menjadi Energi (Waste to Energy) atau PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga sampah) secara ringkas adalah sebagai berikut :
Pertama, pemilahan sampah. Sampah dipilah untuk memanfaatkan sampah yang masih dapat didaur ulang. Sisa sampah dimasukkan ke dalam tungku Insinerator untuk dibakar.
Kedua, pembakaran sampah. Pembakaran sampah menggunakan teknologi pembakaran yang memungkinkan berjalan efektif dan aman bagi lingkungan. Suhu pembakaran dipertahankan dalam derajat pembakaran yang tinggi (di atas 1.300°C). Asap yang keluar dari pembakaran juga dikendalikan untuk dapat sesuai dengan standar baku mutu emisi gas buang.
Ketiga, pemanfaatan panas. Hasil pembakaran sampah akan menghasilkan panas yang dapat dimanfaatkan untuk memanaskan boiler. Uap panas yang dihasilkan digunakan untuk memutar turbin dan selanjutnya menggerakkan generator listrik.
Keempat, pemanfaatan abu sisa pembakaran. Sisa dari proses pembakaran sampah adalah abu. Volume dan berat abu yang dihasilkan diperkirakan hanya kurang 5% dari berat atau volume sampah semula sebelum dibakar. Abu ini akan dimanfaatkan untuk menjadi bahan baku batako atau bahan bangunan lainnya setelah diproses dan memiliki kualitas sesuai dengan bahan bangunan.
Di kota-kota besar, seperti di Eropah, Amerika, Jepang, Belanda dll, waste energy sudah dilakukan sejak berpuluh tahun lalu. Hasilnya diakui lebih dapat menyelesaikan masalah sampah.
Pencemaran dari PLTSa yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat sebenarnya sudah dapat diantisipasi oleh negara yang telah menggunakan PLTSa terlebih dahulu. (mar/int/dro/ma)